Skip to content

(Bahasa Indonesia) Self-determined land rights in Indonesia: A review on various tenure recognition options

Self determined land rights cover: Samuel Nipaq

Pasca reformasi politik dan hukum di Indonesia, pengakuan negara terhadap masyarakat adat (lokal) di Indonesia terus bertumbuh. Puluhan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan ratusan produk hukum daerah telah disahkan untuk mengakui keberadaan, wilayah dan hak-hak masyarakat adat. Kendati demikian, pengakuan ini belum menampakkan hasil yang menjanjikan, khususnya bagi keamanan tenure masyarakat adat. Penguasaan tenure oleh masyarakat hanya mencapai 12% dari total penguasaan hutan/ tanah oleh aktor non-negara. Sementara itu, 88% sisanya masih dikuasai oleh korporasi atau swasta. Tidak heran jika kemudian ketimpangan ini berujung pada kemiskinan yang menjerat sekitar 10,2 juta penduduk yang berada di dalam kawasan hutan.

Merespon situasi tersebut, pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan. Misalnya, Kementerian LHK dengan skema Perhutanan Sosial yang mendistribusikan 2.743.739, 37 Ha (dari target minimal 12,7 juta Ha); Kementerian ATR/ BPN yang mendorong Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan telah melegalisasi 6.207.818 bidang tanah (2015-2018). Melalui program redistribusi lahan, BPN juga telah mendistribusikan 262.189 bidang tanah kepada masyarakat; dan pendaftaran 19.468,38 Ha tanah dengan status Hak Komunal yang juga dilakukan Kementerian ATR/ BPN.1

Di luar skema-skema di atas, tersedia berbagai skema lain yang juga dapat dianggap sebagai pilihan untuk pengakuan tenure. Skema ini dapat berupa instrumen pengakuan yang bersifat publik seperti SK Bupati dan Peraturan Daerah maupun yang bersifat privat seperti Tanda Bukti Hak (bukti pembayaran pajak, atau surat keterangan kepala desa). Di luar skema formal tersebut, terdapat juga mekanisme non-negara seperti kesepakatan antara masyarakat dan perusahaan/ pemerintah atau peralihan hak secara privat (jual beli atau sewa menyewa). Berbagai skema tersebut, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah dipraktekkan di banyak tempat dan menghasilkan derajat keamanan tenure yang bervariasi.

Situasi ini menunjukkan bahwa beragamnya pilihan instrumen pengakuan tenure tidak serta merta membawa perubahan signifikan dalam peningkatan penguasaan dan keamanan tenurial masyarakat adat. Atas kesadaran tersebut, riset ini disusun untuk menyediakan dokumen otoritatif yang, secara luas, dapat menilai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing opsi tenurial bagi masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia. Berbagai pilihan tersebut ditawarkan baik oleh peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun perjanjian. Studi ini ingin menunjukkan bahwa kekuatan dan kelemahan dari berbagai pilihan pengakuan tenurial yang tersedia dapat menjadi pertimbangan bagi komunitas dalam memilih strategi pengakuan dan model tenurial yang paling tepat bagi kondisi khusus dan aspirasi mereka.

Read the full report:

Overview

Resource Type:
Reports
Publication date:
23 February 2021
Region:
Indonesia
Programmes:
Territorial Governance Supply Chains and Trade Culture and Knowledge Conservation and human rights

Show cookie settings