Lembar Berita Elektronik FPP Mei 2014 (PDF)
Teman-teman yang baik,
Masyarakat hutan mengadakan pertemuan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, di bulan Maret tahun ini, melaporkan hilangnya hutan yang terus terjadi dan ancaman serius terhadap hak-hak dan kesejahteraan mereka. Mendengarkan perwakilan masyarakat berbicara tentang perjuangan yang mereka hadapi untuk mengamankan tanah dan hutan mereka merupakan pembelajaran secara langsung tentang ekonomi politis hutan yang nyata di berbagai negara saat kepentingan internasional, nasional dan lokal berlomba mempengaruhi hukum dan kebijakan nasional dan nasib hutan. Warisan hukum kehutanan kolonial yang menempatkan hutan masyarakat di bawah kendali negara dan pelucutan hak-hak adat dan pengelolaan hutan dari masyarakat hutan terus meningkatkan krisis kehutanan. Kami, masyarakat hutan, tengah didesak sampai batas daya tahan kami hanya untuk bisa bertahan hidup. Menghentikan deforestasi membutuhkan penghormatan atas hak-hak dasar kami, yang juga merupakan hak-hak seluruh masyarakat dan manusia. Deforestasi marak ketika hak-hak kami tidak dilindungi dan tanah dan hutan kami dirampas oleh kepentingan industri tanpa persetujuan kami. Bukti-bukti sangat kuat bahwa ketika hak-hak kami terjamin maka deforestasi dapat dihentikan dan bahkan dibalikkan. Deklarasi Palangka Raya menyerukan hak dan keadilan di jantung upaya deforestasi, dan mencatat kurangnya keberhasilan inisiatif global untuk mengatasi deforestasi lewat mekanisme-mekanisme yang gagal menangapi berbagai nilai hutan dan keunggulan masyarakat hutan dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. “Di dasar seluruh pengrusakan dan pelanggaran ini terletak masalah fundamental kurangnya penghormatan terhadap hak-hak kami atas tanah dan wilayah, tata kelola mandiri kami, lembaga kami sendiri, hukum adat dan cara hidup kami yang khas yang didasarkan pada hubungan akrab kami yang telah lama terjalin dengan hutan dan bagaimana mencari nafkah dari hutan tanpa merusaknya. Terlalu sering cara hidup kami dan sistem pengetahuan kami dipandang terkebelakang dan kami dapati kami mengalami diskriminasi dalam seluruh hubungan kami dengan masyarakat nasional dan internasional.” Para peserta berkomitmen untuk bekerja dalam solidaritas dalam sebuah jaringan akuntabilitas akar rumput global untuk secara independen memantau, mendokumentasikan, menantang dan mengecam kerusakan hutan dan pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengannya atas hak-hak masyarakat hutan. Sementara itu, berbagai upaya terkait isu kehutanan dan iklim tingkat global, misalnya Pendanaan Karbon Hutan (Forest Carbon Fund) milik World Bank, tetap gagal untuk memastikan partisipasi masyarakat hutan secara total dan efektif. Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat-masyarakat dan aliansi mereka perlu mengawasi dan mempertanyakan program-program ini karena berbagai program tersebut memarginalkan masyarakat dan mengancam cara hidup mereka (lihat artikel tentang FCPF dan RDK)Pemantauan hutan masyarakat dan pemetaan partisipatif yang didasarkan pada pengetahuan adat dan pengetahuan lokal telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh masyarakat. Pengalaman dan pelajaran yang didapat dari kerja-kerja tersebut dibagikan dan didiskusikan dalam sebuah lokakarya peningkatan kapasitas yang baru-baru ini diselenggarakan di Chiangmai, Thailand. Para peserta lokakarya juga dilatih dalam penggunaan teknologi GIS untuk mendukung pengelolaan sumber daya masyarakat dan perencanaan penggunaan lahan lewat pembuatan data yang dikontrol masyarakat, analisis informasi dan pendidikan kenegaraan dan lingkungan. Lembar berita ini juga berisi data terbaru tentang pendekatan baru Bank Dunia mengenai Keterlibatan Negara serta publikasi baru bertajuk ‘Mewujudkan Hak-Hak Perempuan Adat: sebuah panduan untuk CEDAW’. Joji Cariño, Direktur
Overview
- Resource Type:
- Reports
- Publication date:
- 30 April 2014