Hak-Hak Masyarakat Adat dan Konservasi: Perkembangan Terbaru dalam Yurisprudensi Hak Asasi Manusia
Pendahuluan
Dalam 18 bulan terakhir, dua Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menulis laporan tentang hak asasi manusia dan konservasi yaitu Victoria Tauli-Corpuz, Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak masyarakat adat, dan John Knox, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia dan lingkungan.[1] Laporan-laporan ini menekankan bahwa kewajiban hak asasi manusia "tidak hanya diterapkan pada tindakan-tindakan yang ditujukan untuk eksploitasi sumber daya, tetapi juga pada tindakan-tindakan untuk tujuan konservasi," dan pemangku kepentingan telah meningkatkan kewajiban untuk menghormati hak-hak "mereka yang memiliki hubungan jangka panjang dan erat dengan wilayah leluhur mereka."[2] Kedua laporan ini juga memberi penekankan pada sifat saling tergantung dan tak terpisahkan dari ekosistem yang sehat dan penikmatan hak asasi manusia dan, sebaliknya, sangat pentingnya jaminan hak asasi manusia untuk melindungi ekosistem, terutama dalam kasus masyarakat adat.[3] Dalam hal ini, kedua laporan menekankan bahwa menghormati hak asasi manusia bukan hanya kewajiban hukum, "tapi juga merupakan cara terbaik atau satu-satunya untuk menjamin perlindungan keanekaragaman hayati."[4] Perlindungan hak asasi manusia yang efektif untuk masyarakat adat dan komunitas lokal telah "diperlihatkan membawa perlindungan yang lebih baik untuk ekosistem dan keanekaragaman hayati," sementara "mencoba melestarikan keanekaragaman hayati dengan mengecualikan mereka dari kawasan lindung biasanya mengakibatkan kegagalan."[5] Sejalan dengan penelitian yang terus berkembang, kedua Pelapor sangat mendukung pengamanan hak masyarakat adat atas wilayah mereka sebagai salah satu sarana yang efektif untuk upaya konservasi yang sesuai dengan hak.[6] Hal yang sama juga juga terjadi di bawah hukum lingkungan internasional.[7] Seperti dibahas di bawah ini, pertimbangan-pertimbangan ini bukan sekadar masalah keputusan kebijakan; namun, masuk ke dalam inti penilaian pembolehan dan legitimasi inisiatif konservasi sebagai masalah hukum hak asasi manusia.
Kedua Pelapor juga menyatakan bahwa pelanggaran hak-hak masyarakat adat tetap berlangsung dalam tindakan-tindakan konservasi dan bahwa banyak negara[8] dan komunitas konservasi, terutama aktor-aktor utamanya, belum cukup memahami dan mengembangkan mekanisme yang efektif untuk menghormati hak-hak ini.[9] Tauli-Corpuz melihat bahwa pola pelanggaran ini sudah berlangsung lama, mempengaruhi hak-hak yang penting bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat adat,[10] dan terutama nampak jelas di negara-negara yang belum cukup mengakui hak atas tanah kolektif dan perlindungan-perlindungan yang berkaitan dengannya.[11] Mengetahui sejumlah pelaku konservasi telah mengadopsi pernyataan kebijakan yang menangani hak-hak masyarakat adat, Tauli-Corpuz menyatakan bahwa "ini kadang-kadang sulit dipahami mengenai hak-hak spesifik masyarakat adat,"[12] dan bahwa "kesenjangan pelaksanaan yang cukup besar masih tetap ada dan ancaman-ancaman baru terhadap konservasi berbasis hak asasi manusia terus bermunculan."[13] Kedua Pelapor menyimpulkan bahwa para penggiat konservasi perlu mengintensifkan "upaya-upaya untuk memenuhi komitmen-komitmen mereka terhadap pendekatan berbasis hak terhadap konservasi," dan bahwa "negara-negara dan organisasi-organisasi konservasi perlu menerapkan langkah-langkah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat sebagai prioritas."[14]
Kedua Pelapor juga mengomentari instrumen hukum lingkungan internasional, seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati ("CBD"), yang menyoroti ketentuan-ketentuan yang berpihak pada hak-hak masyarakat adat serta tumpang tindih yang besar dengan norma-norma hak asasi manusia.[15] Ini termasuk keputusan yang diadopsi oleh Konferensi Para Pihak CBD yang secara eksplisit meminta "kewajiban Para Pihak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal" dan menetapkan bahwa "pembentukan, pengelolaan dan pemantauan kawasan lindung harus dilakukan dengan ... penghormatan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal ...."[16] Sepakat dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika ("IACTHR"),[17] kedua Pelapor menggarisbawahi bahwa penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat "harus dilihat sebagai pelengkap, bukannya bertentangan, dengan perlindungan lingkungan."[18] Tauli- Corpuz menambahkan bahwa penilaian terhadap hak-hak masyarakat adat dalam kaitannya dengan konservasi "memerlukan pertimbangan-pertimbangan terhadap keterkaitan hak-hak yang berbeda, terutama penentuan nasib sendiri, hak budaya dan properti, dan penghargaan terhadap komplementaritas hukum hak asasi manusia internasional dan hukum lingkungan internasional."[19]
Laporan kedua Pelapor ini sesuai dengan perkembangan terkini dalam yurisprudensi hak asasi manusia internasional, yang menyediakan seperangkat norma hukum yang mengatur konservasi sektor publik dan swasta. Secara keseluruhan, kedua laporan dan yurisprudensi ini memperbarui "tantangan bagi para penggiat konservasi"[20] yang dibuat oleh masyarakat adat dan pihak-pihak lain dalam beberapa dekade terakhir, yang diperkuat oleh kekhawatiran yang diajukan oleh beberapa donor besar, untuk mennghindari kesalahan masa lalu[21] dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dan masyarakat atau komunitas lain yang menghadapi situasi yang sama dihormati.[22] Hal ini mendorong munculnya Prakarsa Konservasi Hak Asasi Manusia pada tahun 2009, yang dimaksudkan untuk "memperbaiki praktik konservasi dengan mempromosikan integrasi hak asasi manusia dalam kebijakan dan praktik konservasi."[23] Namun, sekitar delapan tahun kemudian, Tauli-Corpuz menyimpulkan bahwa, meskipun "sebuah paradigma berbasis hak baru untuk konservasi telah mengalami kemajuan dalam dekade-dekade terakhir, namun masih tetap berada pada tahap awal penerapannya."[24] Selain itu, kemajuan dalam yurisprudensi internasional sejak 2009 telah menjelaskan sejumlah aspek hukum hak asasi manusia dalam hubungannya dengan konservasi, yang dengan jelas menggeser isu-isu ini dari ranah kebijakan menjadi salah satu kewajiban hukum. Yurisprudensi ini juga mendukung kesimpulan bahwa kegagalan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dapat mempengaruhi legitimasi dan bahkan kelanjutan dari sejumlah besar kawasan lindung dan intervensi konservasi non-konsensual lainnya.
Yurisprudensi Terbaru
“… [K]omisi menegaskan kembali bahwa pelestarian lingkungan merupakan kebutuhan publik yang penting, namun tidak boleh diwujudkan dengan mengorbankan hak-hak asasi manusia masyarakat adat."[25]
Antara tahun 2010 dan 2017, badan-badan hak asasi manusia yudisial atau kuasi-yudisial internasional telah mengadopsi empat keputusan penting terkait konservasi, menangani pembentukan dan pengelolaan kawasan lindung serta restitusi tanah yang dijadikan bagian kawasan lindung: Xákmok Kásek v. Paraguay (2010), Dewan Kesejahteraan Endorois (2010), Masyarakat Kaliña dan Lokono v. Suriname (2015) dan Komisi Afrika untuk Hak Asasi Manusia dan Rakyat v Kenya (2017). Sisa dari catatan pendek ini merangkum beberapa perkembangan normatif utama dalam atau yang umum untuk keputusan ini. Ini tidak menangani hak-hak atas tanah adat semata karena hal ini dinyatakan di tempat lain.[26] Untuk keperluan sekarang, sudah cukup jika mengingat bahwa hak-hak atas properti adat berasal dari sistem penguasaan adat mereka,[27] di mana tanah harus diberi batas dan diberi sertifikat, dan setiap perambahan yang diusulkan atau yang nyata ke lahan mereka, terlepas dari status hukumnya dalam hukum domestik, memicu serangkaian kewajiban di pihak aktor sektor publik dan swasta.[28] Selain itu, yurisprudensi global dan regional pada dasarnya menelusuri norma-norma yang ditetapkan dalam Pasal 25-32 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat 2007,[29] termasuk yang dibaca bersama-sama, antara lain, aspek-aspek hak teritorial, budaya dan tata kelola sendiri dari hak atas penentuan nasib sendiri.[30] Oleh karena itu, Deklarasi ini memberikan referensi yang sangat diperlukan, baik dari segi jaminan untuk wilayah adat dan hak-hak masyarakat adat secara lebih umum.
Pembentukan Kawasan Lindung: Kepentingan Publik, Kebutuhan dan Proporsionalitas
Keempat keputusan yang disebutkan di atas menentukan kewajiban yang berkaitan dengan pembentukan kawasan lindung karena dapat mempengaruhi wilayah adat. Doktrin kepentingan publik mendapat sorotan tajam karena sering dipahami oleh negara-negara dan pihak-pihak lainnya untuk memberikan justifikasi utama yang memungkinkan dilakukannya tindakan konservasi secara paksa, mengalahkan hak-hak dalam prosesnya. Namun, badan-badan hak asasi manusia telah lama menjelaskan bahwa deklarasi kepentingan publik yang sah hanyalah langkah pertama dan bahwa setiap aktivitas yang dapat mempengaruhi hak asasi manusia secara sah juga harus sesuai dengan kebutuhan, proporsionalitas, non-diskriminasi[31] dan pengujian-pengujian lainnya.[32] Negara harus menunjukkan bahwa konservasi secara paksa "sangat diperlukan" dan bahwa mereka telah memilih opsi yang paling tidak membatasi dari perspektif hak asasi manusia[33] untuk memenuhi kepentingan publik yang dinyatakan.[34] Setiap pembatasan juga harus proporsional dan disesuaikan dengan kepentingan publik.[35] Selain itu, otorisasi yang membatasi hak kepemilikan "tidak boleh dikeluarkan jika tujuan publik yang dimaksud bisa dicapai dengan cara yang berbeda ...."[36] Pertimbangan-pertimbangan ini adalah pertanyaan tentang fakta, dan dibatasi oleh fakta, daripada suatu kebijaksanaan politik. Oleh karena itu, bukti keefektifan dari konservasi wilayah adat sangat penting untuk menilai kebutuhan dan proporsionalitas serta berkaitan dengan apakah tindakan konservasi secara paksa diperbolehkan dan, jika ya, sampai sejauh mana.
Sebagai prinsip umum, sangatlah relevan bahwa wilayah adat "adalah daerah yang memiliki 80 persen keanekaragaman hayati planet ini"[37] dan penelitian tersebut secara konsisten "mengungkapkan adanya korelasi kuat antara keberadaan masyarakat asli dan perlindungan ekosistem alami."[38] Berbagai sumber juga memastikan bahwa masyarakat adat setidaknya sama bagusnya, jika tidak lebih baik, dalam melakukan konservasi daripada negara dan pihak lain.[39] Kelompok Evaluasi Independen Bank Dunia, misalnya, menyimpulkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat jauh lebih efektif dalam mengurangi deforestasi daripada kawasan lindung yang ketat,[40] dan, "di Amerika Latin, wilayah adat hampir dua kali lebih efektif daripada bentuk perlindungan manapun."[41] Temuan serupa telah tercatat di wilayah-wilayah lain di dunia.[42] Studi lain yang ditugaskan oleh Bank Dunia menyimpulkan bahwa pengakuan atas hak atas tanah adat sangat terkait dengan keberhasilan konservasi,[43] dan "memberdayakan Masyarakat Adat untuk mengelola keanekaragaman hayati di wilayah mereka sendiri telah menghasilkan cara yang lebih berkelanjutan dan hemat biaya untuk melindungi keanekaragaman hayati."[44] Tauli- Corpuz menjelaskan bahwa badan penelitian ini, paling tidak, "menempatkan tanggung jawab pada negara untuk membenarkan mengapa kawasan lindung non-konsensual benar-benar diperlukan di dalam wilayah adat" dan untuk "membuktikan bahwa mereka secara ketat telah menerapkan kriteria yang akan memungkinkan mereka untuk melakukan intervensi di wilayah adat, termasuk melalui penilaian alternatif yang partisipatif.”[45] Ini juga sangat mendukung pandangan bahwa penghormatan terhadap hak masyarakat adat "seringkali merupakan cara terbaik atau satu-satunya untuk menjamin perlindungan keanekaragaman hayati" dan keberhasilan konservasi.[46]
Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia ("IACHR") menyatakan bahwa harus ada "hubungan rasional" antara perlindungan lingkungan dan pembatasan kepemilikan, penggunaan dan penikmatan wilayah masyarakat adat.[47] Apabila dapat ditunjukkan bahwa pengelolaan dan konservasi secara adat itu efektif, maka tidak akan ada dasar factual untuk, dan karenanya tidak perlu menggunakan, tindakan pemaksaan. Melakukan hal itu tidak perlu dan tidak proporsional dengan kepentingan publik yang ditegaskan, yang dapat dicapai melalui alternatif, dengan cara yang tidak begitu sulit, seperti kesepakatan hasil perundingan mengenai tindakan-tindakan konservasi ekosistem atau spesies tertentu.[48] Dalam skenario ini, kepentingan publik dari konservasi alam dapat dicapai tanpa meninggalkan penghormatan terhadap hak-hak teritorial adat dan sistem tata kelola, pengelolaan, budaya dan sistem lainnya yang mendukung hasil konservasi yang efektif, termasuk, jika perlu, melalui perjanjian legal dan kesepakatan lainnya bersama lembaga negara dan pihak lainnya. .
Persyaratan di atas dikontekstualisasikan dan diuraikan dalam yurisprudensi terbaru. Di Endorois, misalnya, Komisi Afrika untuk Hak Asasi Manusia dan Rakyat ("AfCom") menyatakan bahwa uji "kepentingan publik" dipenuhi dengan ambang batas yang jauh lebih tinggi dalam kasus perambahan tanah adat daripada kepemilikan pribadi perorangan."[49] Komisi ini kemudian menyatakan bahwa penolakan atas hak-hak properti Endorois atas tanah leluhur mereka tidak proporsional dengan kebutuhan masyarakat yang hendak dicapai oleh Suaka Hewan Buruan."[50] Demikian pula, pada bulan Mei 2017, Pengadilan Afrika untuk Hak Asasi Manusia dan Rakyat ("ACTHPR") memutuskan bahwa Kenya "tidak dapat memberikan bukti" untuk mendukung klaimnya bahwa pendudukan oleh masyarakat Ogiek telah merugikan lingkungan, dan oleh karena itu, "penolakan terus-menerus terhadap akses ke dan penggusuran dari Hutan Mau ... tidak mungkin diperlukan atau proporsional untuk mencapai justifikasi yang diakui untuk melestarikan ekosistem alami ...."[51] Merujuk kembali pada klaim Kenya, ACTHPR memutuskan bahwa "ini tidak mungkin, dengan standar apapun, berfungsi sebagai justifikasi yang masuk akal dan obyektif atas kurangnya pengakuan terhadap status adat atau kesukuan Ogieks dan menyangkal hak-hak terkait yang berasal dari status tersebut."[52] Keputusan serupa juga dikeluarkan terkait pelanggaran hak-hak budaya.[53] Hal ini sesuai dengan yurisprudensi IACHR dan IACTHR, termasuk dalam kaitannya dengan konservasi,[54] yang menegaskan bahwa tanah adat sangat penting bagi integritas dan kelangsungan hidup masyarakat adat.[55] Yurisprudensi ini juga menyatakan bahwa pembatasan tertentu entah "tidak diperbolehkan"[56] atau tunduk pada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan masyarakat adat, terlepas dari kepentingan publik yang ditegaskan.[57] Hal yang sama juga terjadi dalam yurisprudensi Komite Hak Asasi Manusia.[58]
IACTHR telah membawa prinsip-prinsip sebelumnya selangkah lebih maju. Berdasarkan keputusan sebelumnya bahwa penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat itu sendiri merupakan pertimbangan kepentingan publik yang sangat penting,[59] Pengadilan ini memutuskan bahwa partisipasi efektif masyarakat adat dalam pengambilan keputusan sendiri merupakan bagian integral untuk menetapkan pembenaran kepentingan umum untuk konservasi disamping menjadi hak yang harus dihormati secara umum.[60] Oleh karena itu, negara harus memastikan adanya partisipasi masyarakat adat dan harus sepenuhnya memperhitungkan kepentingan publik yang terpisah dan berkebalikan untuk menghormati hak masyarakat adat sejak awal dan selama proses berlangsung. Apabuila tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi negara untuk mempertahankan tujuan konservasi yang nyata itu untuk kepentingan umum. Analisis seperti ini juga tidak terbatas pada badan hak asasi manusia internasional. Misalnya, dalam penghakiman pada bulan Juli 2017, walaupun mengenai izin minyak dan gas bumi, Mahkamah Agung Kanada menyatakan bahwa "otorisasi projek yang melanggar hak-hak masyarakat adat yang dilindungi secara konstitusional tidak dapat memenuhi kepentingan umum."[61]
Singkat kata, badan-badan hak asasi manusia internasional telah memutuskan bahwa kawasan lindung tunduk pada norma, peraturan, dan perlakuan hak asasi manusia yang sama seperti intervensi lainnya di wilayah-wilayah adat oleh negara-negara dan pihak yang diberi wewenang oleh mereka, dan bahwa peraturan sebelumnya hanyalah satu bagian dari analisis yang diperlukan dan kewajiban yang berlaku.[62] Masyarakat adat juga memiliki hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam semua pengambilan keputusan seputar pembentukan dan pengelolaan kawasan lindung, termasuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan; penilaian awal terhadap dampak sosial dan HAM yang partisipatif dan partisipatif; dan pembagian manfaat yang wajar.[63] Selain itu, tindakan pemaksaan mungkin tidak dapat diizinkan selama hal itu tidak diperlukan, tidak proporsional atau tidak sesuai, secara terpisah atau kumulatif, dengan pelaksanaan hak-hak tertentu. Prinsip-prinsip ini, bersama dengan pentingnya mengakui dan menghormati hak teritorial masyarakat adat dan keefektifan praktik konservasi, wilayah dan inisiatif mereka, juga semakin diakui dan diprioritaskan dalam hukum lingkungan internasional, terutama sesuai dengan CBD.[64]
Pengelolaan
Kasus Kaliña dan Lokono mengandung yurisprudensi paling rinci terkait pengelolaan kawasan lindung. Sebagai prinsip umum, IACTHR menjelaskan bahwa, sejak negara menerima komitmen internasionalnya "negara hasrus berupaya untuk memastikan kesesuaian antara perlindungan lingkungan dan hak-hak kolektif masyarakat adat, untuk: (a) memastikan akses dan penggunaan wilayah leluhur mereka untuk cara hidup tradisional mereka di cagar alam, dan (b) menyediakan sarana bagi mereka untuk berpartisipasi secara efektif dalam tujuan cagar alam; ... dan (c) ikut serta dalam manfaat yang dihasilkan konservasi."[65] Dikatakan bahwa kurangnya mekanisme eksplisit untuk menjamin akses, penggunaan dan partisipasi efektif dalam konservasi cagar alam merupakan pelanggaran kewajiban untuk menerapkan langkah-langkah efektif "untuk memastikan hak atas kekayaan kolektif, identitas budaya, dan hak-hak politik ...."[66] Perintah terkait ini mengakui bahwa walaupun beberapa pembatasan diizinkan, mereka tidak dapat mewakili "hambatan yang berlebihan terhadap hak-hak mereka."[67] “Berlebihan" berkaitan, sebagian, dengan persyaratan bahwa "setiap pembatasan terhadap hak mereka harus sesuai dengan persyaratan legalitas, kebutuhan dan proporsionalitas, dan pencapaian tujuan yang sah."[68] Sebagaimana dibahas di bawah, keputusan IACTHR dalam kasus ini kemungkinan besar akan sangat berbeda jika cagar-cagar alam tersebut telah dibentuk setelah, bukannya sebelum, penerimaan negara atas yurisdiksi cagar-cagar alam ini.
Berkenaan dengan "partisipasi efektif," IACTHR menyatakan bahwa "perlu untuk: (i) mengakui hak masyarakat adat untuk menggunakan institusi dan perwakilan mereka sendiri untuk mengelola, mengatur dan melindungi wilayah tradisional mereka; (ii) memastikan sistem pengambilan keputusan di mana masyarakat adat dapaat berpartisipasi secara penuh dan efektif; (iii) mencapai kesepakatan antara masing-masing komunitas dan badan konservasi yang menetapkan pengelolaan, komitmen, tanggung jawab, dan tujuan kawasan tersebut, dan (iv) menjamin akses terhadap informasi mengenai tindakan yang dilakukan sehubungan dengan area-area ini."[69] Sehubungan dengan "akses dan penggunaan," IACTHR memberikan contoh, menyatakan bahwa negara-negara harus "menyetujui sistem kesehatan tradisional mereka dan fungsi sosial budaya lainnya, dan mempertahankan cara hidup, kebiasaan dan bahasa mereka, serta untuk menyetujui, memelihara dan melindungi situs agama dan budaya mereka."[70] Selain itu, praktik tradisional masyarakat adat yang "berkontribusi terhadap pemeliharaan dan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan harus dijaga, dilindungi dan dipromosikan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendukung pengetahuan, institusi, praktik, strategi, dan rencana pengelolaan masyarakat adat mengenai konservasi."[71] Elemen-elemen terakhir ini sesuai dengan Pasal 29 (1) Deklarasi PBB, yang menyatakan, sebagian, bahwa masyarakat adat memiliki hak atas konservasi dan perlindungan lingkungan dan kapasitas produktif dari wilayah mereka, dan negara-negara "harus menetapkan dan melaksanakan program bantuan bagi masyarakat adat" untuk mendukung hal yang sama.
Meskipun lebih terbatas dalam ruang lingkup dan analisisnya daripada Kaliña dan Lokono, keputusan IACTHR dalam kasus Komunitas Garífuna dari Punta Piedra v. Honduras juga perlu disebut. Dalam kasus ini, IACTHR menemukan pelanggaran atas hak kepemilikan dan hak berpartisipasi sehubungan dengan kegagalan negara untuk berkonsultasi mengenai pembentukan kawasan lindung yang tumpang tindih dengan sebagian lahan adat masyarakat dan, kemudian, tentang persyaratan-persyaratan rencana pengelolaannya.[72] IACTHR memerintahkan, antara lain, agar negara tersebut menerapkan langkah-langkah efektif untuk menjamin akses, penggunaan, dan penikmatan properti kolektif masyarakat di wilayahnya sendiri di dalam Taman Nasional, dan memberikan ganti rugi moneter atas pelanggaran yang terjadi.[73]
Restitusi
"Masyarakat adat berhak atas ganti rugi, dengan cara yang dapat mencakup restitusi ... untuk tanah, wilayah dan sumber daya yang secara adat dimiliki atau diduduki atau digunakan, dan yang telah disita, diambil, diduduki, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan mereka."[74]
Seperti disebutkan di atas, kegagalan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dapat menimbulkan tantangan terhadap legitimasi dan bahkan kelanjutan kawasan lindung dan inisiatif konservasi lainnya, antara lain, melalui restitusi semua atau sebagian wilayah yang dimasukkan ke dalamnya. Meskipun banyak yang bisa, dan telah, dikatakan tentang masalah ini, catatan ini hanya membahas restitusi seperti yang diperintahkan pengadilan dalamm kasus-kasus di atas.[75] Meskipun kasus Masyarakat Xákmok Kásek dan Kaliña dan Lokono adalah yang paling relevan, perhatikan bahwa AfCom juga merekomendasikan restitusi di Endorois[76] dan ACTHPR diharapkan untuk menyelesaikan, dan mungkin memerintahkan, restitusi dalam keputusan tentang tindakan perbaikan yang akan datang dalam kasus Ogiek.[77] Seperti di atas, yurisprudensi terbaru ini dikembangkan dari peraturan dan norma yang ada dan menjelaskan penerapannya dalam konteks konservasi.[78] Prinsip-prinsip yang sama juga tercermin dalam kebijakan internasional mengenai kawasan lindung, misalnya, dalam keputusan Kongres Taman Dunia tahun 2003 dan 2014.[79] Perhatikan juga bahwa seluruh kawasan lindung yang dipermasalahkan dalam kasus-kasus ini, kecuali satu di antaranya, dibentuk sebelum negara responden meratifikasi perjanjian-perjanjian yang relevan; dengan demikian, semua kawasan lindung berpotensi berada dalam cakupan restitusi, terlepas dari kapan pembentukannya dan sejauh pelanggaran yang terjadi dan berkelanjutan dapat diverifikasi.
Dalam kasus Xákmok Kásek, IACTHR menjelaskan bahwa "telah terbukti bahwa pembentukan cagar alam swasta di atas sebagian tanah yang diklaim oleh Komunitas tersebut tidak memperhitungkan klaim teritorialnya dan komunitas ini tidak diajak bicara tentang pembentukan ini .... Selain itu, terbukti bahwa negara tidak mengambil tindakan positif yang diperlukan untuk membatalkan eksklusi tersebut."[80] IACTHR lebih lanjut mendapati bahwa cagar alam tersebut menetapkan "pembatasan untuk menggunakan dan memiliki, termasuk larangan untuk menduduki tanah tersebut, serta kegiatan tradisional warga Komunitas tersebut seperti berburu, memancing dan mengumpulkan."[81] Dikarenakan hubungan yang ada antara komunitas tersebut dan tanah dalam cagar alam tersebut, Pengadilan memutuskan bahwa hak masyarakat yang terkena dampak "untuk mendapatkan kembali wilayah mereka yang hilang tetap berlaku" dan Pengadilan memerintahkan restitusi atas tanah tersebut.[82]
Demikian juga, di Kaliña dan Lokono, IACTHR memverifikasi "hubungan terus menerus antara Kaliña dan Lokono dan wilayah-wilayah tertentu (dari cagar alam) yang mereka gunakan untuk hidup mereka," dan oleh karena itu, memutuskan bahwa mereka memiliki hak atas "restitusi yang mungkin atas bagian-bagian dari wilayah adat mereka di dalam cagar alam ...."[83] Istilah 'mungkin' harus dipahami berkenaan temuan Pengadilan bahwa pengadilan kekurangan informasi yang memadai tentang "dimensi yang tepat dari wilayah adat mereka yang berada dalam cadangan ini."[84] Meskipun demikian, pengadilan mewajibkan dan memerintahkan agar negara, sebagai bagian dari proses sertifikasi wilayah adat, "harus mempertimbangkan hak-hak kolektif dari masyarakat Kaliña dan Lokono terhadap perlindungan lingkungan sebagai bagian dari kepentingan publik" untuk menentukan apakah restitusi juga harus dilakukan.[85] IACTHR menjelaskan bahwa 'pertimbangan’ ini harus menilai kebutuhan dan proporsionalitas dari pembatasan manapun terhadap hak masyarakat Kaliña dan Lokono di dalam cagar alam, termasuk apakah penolakan terus-menerus atas hak kepemilikan mereka atas seluruh atau sebagian kawasan cagar alam dapat dipertahankan untuk mencapai tujuan konservasi alam.[86] Selain itu, ini harus dibaca bersamaan dengan kesimpulan IACTHR bahwa masyarakat adat memainkan "peran penting dalam konservasi alam, karena penggunaan adat tertentu melibatkan praktik berkelanjutan dan dianggap penting untuk efektivitas strategi konservasi. Oleh karena itu, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dapat membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan."[87]
Terakhir, IACTHR memerintahkan restitusi dalam kasus Kaliña dan Lokono meskipun adanya temuan bahwa, karena cagar alam tersebut dibentuk sebelum berlakunya perjanjian yang relevan, maka pihak pengadilan tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pembentukan tersebut dan "terhalangi untuk memeriksa aspek-aspek yang terkait dengan proses yang berujung pada penetapan teknis dari dimensi, batas, dan wilayah yang ditetapkan sebagai cagar alam."I ni berarti bahwa Pengadilan dapat menangani masalah-masalah yang tengah terjadi atau masalah-masalah baru yang berkaitan dengan cagar alam, namun bukan pada pembentukannya, meninggalkan sejumlah masalah yang tidak terselesaikan, terutama yang bersifat prosedural. Namun, ini mengindikasikan bahwa keputusannya akan berbeda, dan serupa dengan kasus Xákmok Kásek, jika pengadilan memiliki yurisdiksi atas "pembentukan dan kelanjutan cagar alam" daripada sekadar "keberadaan" dan efeknya yang ditimnbulkannya sampai saat ini. Namun tang manapun, apabila harus ditentukan bahwa tidaklah perlu atau tidaklah proporsional untuk menolak atau membatasi kepemilikan dan/atau hak-hak lain dari masyarakat Kaliña dan Lokono, tanah di dalam cagar alam tersebut harus dikembalikan kepada mereka sebagai bagian dari proses sertifikasi dan tujuan konservasi harus ditangani dengan cara lain dan dalam konteks penghormatan penuh terhadap hak-hak teritorial dan hak-hak mereka yang lainnya.
[1] Laporan Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia mengenai hak-hak masyarakat adat, A / 71/229, 29 Juli 2016 (selanjutnya disebut "VTC 2016"); dan Laporan Pelapor Khusus mengenai masalah kewajiban hak asasi manusia terkait dengan penikmatan lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan, A / HRC / 34/49, 19 Januari 2017 (selanjutnya disebut "JK 2017").
[2] JK 2017, paragraf 58 (mengutip Komisi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Manusia Afrika, Dewan Kesejahteraan Endorois v. Kenya, No. 276/2003 (2010) (selanjutnya disebut "Endorois"); dan Masyarakat Kaliña dan Lokono v. Suriname, IACTHR, Ser. C No. 309, 25 November 2015 (selanjutnya disebut "Masyarakat Kaliña dan Lokono ").
[3] JK 2017, paragraf 5 (“Penikmatan secara penuh dari hak-hak asasi manusia dengan demikian bergantung pada keanekaragaman hayati, dan degradasi serta hilangnya keanekaragaman hayati melemahkan kemampuan manusia untuk menikmati hak-hak asasi manusia mereka”).
[4] Id. di paragraf. 59.
[5] Id.; dan VTC 2016 paragraf 15-7. Lihat juga S. Stevens, MASYARAKAT ADAT, TAMAN NASIONAL, DAN KAWASAN LINDUNG: SEBUAH PARADIGMA BARU, hal. 4 (yang menjelaskan bahwa temuan-temuan yang konsisten telah menunjukkan bahwa penolakan terhadap hak-hak di kawasan lindung telah membawa "tiga konsekuensi buruk dari perspektif konservasi: ... 1) hilangnya pemeliharaan oleh masyarakat adat dan perawatan terhadap apa yang telah lama menjadi lanskap budaya dan ekosistem yang terbentuk secara budaya, daripada alam luar yang tidak berpenghuni; 2) hilangnya penjagaan dan pembelaan ekosistem dari mereka terhadap lingkungan pemukiman yang merusak [dan] industri ekstraktif ... dan; 3) ketergantungan pada perlindungan, pemeliharaan dan pemulihan ekosistem dan keanekaragaman hayati kawasan lindung pada otoritas negara yang seringkali tidak memiliki kapasitas, sumber daya atau kemauan politik yang diperlukan untuk mewujudkan hasil-hasil ini").
[6] VTC 2016, paragraf 65-7.
[7] JK 2017, paragraf 61; dan id. paragraf 31 (yang mengutip UNEP/CBD/COP/DEC/XII/12 dan menyatakan bahwa "Pada tahun 2014, Konferensi Para Pihak mengadopsi sebuah keputusan yang menyoroti persyaratan agar kawasan lindung dan rezim pengelolaan harus bersifat konsensual dan partisipatif jika hak-hak masyarakat adat hendak dihormati, Konferensi tersebut juga mengakui kontribusi dari inisiatif konservasi masyarakat adat di wilayah mereka terhadap konservasi yang efektif dari situs-situs keanekaragaman hayati yang penting"). Lihat juga UNEP/CBD/COP/DEC/XI/24, 5 Desember 2012, paragraf. 1 (e).
[8] VTC 2016, paragraf 19 (yang menyatakan lebih lanjut bahwa "di antara tantangan-tantangn utama yang dihadapi masyarakat adat secara global adalah kesulitan untuk mendapatkan pengakuan legal atas kepemilikan kolektif atas tanah adat mereka, terutama ketika tanah-tanah ini telah dinyatakan sebagai kawasan yang dilindungi. Perundang-undangan nasional seringkali bertentangan. Hukum yang berkaitan dengan konservasi dan kehutanan biasanya tidak diselaraskan dengan undang-undang nasional dan hukum internasional yang mengatur hak-hak masyarakat adat, dan pihak berwenang yang bertanggung jawab untuk penegakan berbagai undang-undang ini seringkali gagal dalam melakukan koordinasi").
[9] JK 2017, paragraf 63 dan 73; dan id., antara lain, paragraf 11 dan 49.
[10] VTC 2016, paragraf 9 (yang menyatakan bahwa "Tiga Pelapor Khusus mengenai hak-hak masyarakat adat, sejak pembentukan mandat tersebut, telah memberikan perhatian khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan konservasi terhadap masyarakat adat di seluruh dunia, terutama lewat pengambilalihan tanah, pemindahan secara paksa, penolakan terhadap tata kelola pemerintahan sendiri, kurangnya akses terhadap sumber penghidupan dan hilangnya situs-situs budaya dan spiritual, tidak diakuinya otoritas mereka sendiri dan penolakan terhadap akses terhadap keadilan dan tindakan perbaikan, termasuk restitusi dan kompensasi"); dan paragraf 51 (yang menyatakan bahwa "Masing-masing Pelapor Khusus mengenai hak-hak masyarakat adat, sejak dibentuknya mandat pada tahun 2001, menerima banyak tuduhan akan pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak masyarakat adat dalam konteks tindakan konservasi").
[11] Id. paragraf 38 (yang selanjutnya menjelaskan bahwa "upaya-upaya konservasi di negara-negara di mana masyarakat adat masih terpinggirkan memiliki hasil yang paling tidak berkesinambungan dan paling tidak maksimal, yang telah mendorong munculnya pengawasan terhadap kebijakan konservasi internasional"); dan 52.
[12] Id. pada paragraf. 21.
[13] Id. pada paragraf 11.
[14] VTC 2016, paragraf 32.
[15] JK 2017 paragraf 60-1; dan id. paragraf 30-2.
[16] Lihat Keputusan Konferensi Para Pihak, COP VII, Putusan VII/28, Kawasan Lindung (pasal 8a-e), pada paragraf. 22. Lihat juga, Keputusan Konferensi Para Pihak, COP X, Keputusan X/31, Kawasan Lindung, paragraf 32 (c) ("Mengingat paragraf 6 dari keputusan IX/18 A, selanjutnya mengajak Para Pihak untuk Menetapkan proses yang efektif bagi partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat dan komunitas lokal, dengan penghormatan penuh terhadap hak-hak mereka dan pengakuan terhadap tanggung jawab mereka, dalam tata kelola kawasan lindung, sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban internasional yang berlaku ").
[17] Masyarakat Kaliña dan Lokono, di paragraph 173 (yang mendapati juga bahwa "kawasan lindung tidak hanya terdiri dari dimensi biologisnya, tapi juga dimensi sosio-kulturalnya dan oleh karena itu memerlukan pendekatan interdisipliner dan partisipatif. Jadi, pada umumnya, masyarakat adat dapat memainkan peran penting dalam konservasi alam, karena penggunaan adat tertentu melibatkan praktik berkelanjutan dan dianggap penting untuk efektivitas strategi konservasi ... Oleh karena itu, hak-hak masyarakat adat dan undang-undang lingkungan internasional harus dipahami sebagai hak pelengkap, bukan pengecualian,").
[18] JK 2017, paragraf 59; VTC 2016, paragraf 28.
[19] VTC 2016, paragraf 20.
[20] M. Chapin, ‘A Challenge to Conservationists’, World Watch November/Desember 2004, http://www.worldwatch.org/system/files/EP176A.pdf.
[21] Lihat misalnya VTC 2016, paragraf 39 (yang menjelaskan bahwa, pada tahun 2003, para penggiat konservasi terkemuka di dunia mengumumkan sebbuah 'paradigma baru' untuk kawasan lindung yang akan menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Perubahan penting dalam pendekatan konservasi ini diadopsi sebagai tanggapan atas meningkatnya opini publik bahwa model kawasan lindung konvensional secara salah mengesampingkan atau meminggirkan masyarakat adat dan komunitas lokal dari tata kelola dan pengelolaan mereka").
[22] JK 2017 paragraf 51-2 dan 71 (yang merekomendasikan bahwa "... negara-negara harus mengakui bahwa warga komunitas minoritas non-adat yang memiliki tradisi budaya yang terpisah dan ikatan material dan budaya yang erat dengan wilayah adat mereka memiliki hak-hak yang serupa (namun tidak sama) dengan masyarakat adat, dan negara harus menghormati dan melindungi hak-hak mereka serta hak-hak masyarakat adat").
[23] http://www.thecihr.org/. Anggota-anggotanya terdaftar sebagai berikut: BirdLife International, Conservation International, Fauna & Flora International, The Nature Conservancy, the International Union for the Conservation of Nature (IUCN), the Wildlife Conservation Society, dan the World Wide Fund for Nature (WWF).
[24] VTC 2016, paragraf 68
[25] IACHR, Kaliña and Lokono Peoples (Suriname), Merits Report No. 79/13, Case 12.639, 18 July 2013, paragraf 134.
[26] Lihat misalnya IACHR, Indigenous and Tribal Peoples’ Rights over their Ancestral Lands and Natural Resources. Norms and Jurisprudence of the Inter-American Human Rights System, OEA/Ser.L/V/II, 30 Desember, 2009.
[27] Lihat misalnya UNDRIP, Art. 26(1), yang menetapkan bahwa “Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki, duduki atau gunakan atau peroleh secara adat.”
[28] Lihat misalnya IACHR, Indigenous and Tribal Peoples’ Rights over their Ancestral Lands, supra.
[29] Lihat misalnya, Kaliña dan Lokono Peoples, paragraf 139, catatan kaki 178, di mana Pengadilan mengutip UNDRIP, Art. 26, dan menyatakan bahwa "Demikian pula, [pasal tersebut] mengakui hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki, duduki atau gunakan atau peroleh secara adat, serta hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan menguasai tanah tersebut; dengan demikian, negara-negara harus memberikan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah-tanah ini, dengan menghormati kebiasaan, tradisi dan sistem penguasaan tanah dari masyarakat adat bersangkutan. "
[30] Lihat misalnya Saramaka People v. Suriname, IACTHR, Ser. C No. 172, 28 November 2007, paragraf 129 (selanjutnya disebut “Masyarakat Saramaka”).
[31] Lihat misalnya, Asmundsson v. Iceland, ECtHR, Keputusan 12 Oktober 2004, pada §40 (yang memutuskan bahwa "perlakuan berbeda yang tidak dapat dibenarkan" sangat mendukung temuan bahwa tindakan pembatasan tidak dapat diizinkan, "di mana pertimbangan harus sangat diperhatikan dalam penilaian masalah proporsionalitas ... "); dan Masyarakat Adat Xákmok Kásek v. Paraguay, IACTHR, Ser. C No. 214, 24 Agustus 2010, pada paragraf 274 (selanjutnya disebut "Xákmok Kásek"). Pertimbangan tersebut juga dimasukkan ke dalam rezim hukum domestik yang berkaitan dengan kesetaraan di mana perhargaan terhadap kesetaraan seringkali dibutuhkan secara konstitusional saat menilai 'kebutuhan' tindakan-tindakan yang membatasi hak (misalnya, Bagian 36 dari Konstitusi Afrika Selatan).
[32] Lihat misalnya Hatton v. United Kingdom, Dewan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR), Keputusan tanggal 8 Juli 2003, di §127; African Commission on Human and Peoples’ Rights v. Kenya, ACTHPR, Permohonan No. 006/2012, Keputusan, 26 Mei 2017, paragraf 129 (selanjutnya disebut “AfCom v. Kenya”).
[33] Hatton v. United Kingdom, Dewan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR), Keputusan tanggal 8 Juli 2003, di §127 (di mana ECHR mengidentifikasi kewajiban negara untuk meminimalisir intervensi terhadap hak dengan mencari solusi alternatif, “dan pada umumnya berupaya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan cara yang paling mudah sehubungan dengan hak asasi manusia”).
[34] Kasus Ricardo Canese, IACTHR, Ser. C No. 111, 31 Agustus 2004, di paragraf. 96; Kasus Herrera-Ulloa, IACTHR, Ser. Nomor 107, 2 Juli 2004, di paragraf. 121 (yang mengutip Compulsory Membership in an Association Prescribed by Law for the Practice of Journalism (pasal 13 dan 29 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia), OC-5/85, 13 November 1985, paragraf 30). Lihat juga Pasal 46 (2) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (yang menetapkan bahwa pembatasan terhadap hak masyarakat adat harus "tidak diskriminatif dan amat diperlukan," dan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak atas hak orang lain atau "persyaratan yang adil dan paling mendesak" dari masyarakat yang demokratis").
[35] Lihat misalnya Angela Poma Poma v. Peru, CCPR/C/95/D/1457/2006, 24 April 2009, di paragraf. 7.6 (yang memutuskan bahwa, dalam kasus masyarakat adat, negara-negara pihak "harus menghormati asas proporsionalitas agar tidak membahayakan kelangsungan hidup masyarakat dan warganya") dan; masyarakat Saramaka, pada paragraf. 128, dan 129-134 (yang mendefinisikan 'kelangsungan hidup' sebagai "kemampuan" masyarakat adat untuk 'melestarikan, melindungi dan menjamin hubungan khusus yang mereka miliki dengan wilayah mereka', sehingga 'mereka dapat terus menjalani cara hidup tradisional mereka, dan bahwa identitas budaya, struktur sosial, sistem ekonomi, adat istiadat, kepercayaan dan tradisi mereka yang berbeda dihormati, dijamin dan dilindungi'").
[36] Sporrong & Lonnroth v. Sweden, Dewan Hak Asasi Manusia Eropa, Keputusan tanggal 23 Sept. 1982, di §69.
[37] C. Sobrevila, The Role of Indigenous Peoples in Biodiversity Conservation: the natural but often forgotten partners, (World Bank, Washington D.C., 2008), hal. 5 dan 20.
[38] Id. (yang mengutip penelitian yang dilakukan di Amazon dan kemudian di Meksiko selatan dan Amerika Tengah, membandingkan peta tutupan hutan dan keanekaragaman hayati dengan wilayah adat dan menemukan bahwa area dengan tutupan hutan terbanyak, dalam kasus-kasus tertentu, hanya tutupan hutan, dan keanekaragaman hayati tertinggi seluruhnya berkaitan dengan wilayah adat).
[39] S. Stevens, MASYARAKAT ADAT, TAMAN NASIONAL, DAN KAWASAN LINDUNG TERPILIH: SEBUAH PARADIGMA BARU (U. Arizona Press, 2014) (yang merangkum temuan dari berbagai sumber).
[40] A. Nelson & K. Chomitz, Effectiveness of Strict vs. Multiple Use Protected Areas in Reducing Tropical Forest Fires: A Global Analysis Using Matching Methods, PLoS ONE 6(8) 2011.
[41] Id. Di Tabel 6.
[42] Lihat misalnya D. Sheil, M. Boissière & G. Beaudoin, Unseen sentinels: local monitoring and control in conservation’s blind spots, 20(2) Ecology and Society 39 (2015); & C. Stevens, R. Winterbottom, K. Reytar & J. Springer, Securing Rights, Combating Climate Change. How Strengthening Community Forest Rights Mitigates Climate Change (WRI/RRI 2014)
[43] Lihat juga P. Kashwan, DEMOKRASI DI HUTAN. KONSERVASI LINGKUNGAN DAN KEADILAN SOSIAL DI INDIA, TANZANIA, DAN MEKSIKO (OUP: Oxford 2017) (yang memeriksa, antara lain, peranan hak atas tanah dalam perlindungan lingkungan dan keadilan sosial).
[44] Peran Masyarakat Adat dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati, hal. 45. Lihat juga V. Toledo, Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati, di S. Levin dkk., (Ed.) ENCYCLOPEDIA OF BIODIVERSITY, 2nd Ed. Academic Press (2007), hal. 1 (yang menjelaskan lebih lanjut, di halaman 9, bahwa "Penelitian yang dikumpulkan dalam tiga dekade terakhir oleh para penyidik dari bidang biologi konservasi, linguistik dan antropologi budaya kontemporer, etnobiologi dan etnoekologi, telah berevolusi secara konvergensi menuju sebuah prinsip bersama: bahwa Keanekaragaman hayati dunia hanya akan terjaga secara efektif dengan melestarikan keragaman budaya dan sebaliknya;" dan "sangat penting untuk menyadari perlunya memberdayakan masyarakat lokal. Yaitu untuk memelihara, memperkuat atau memberi kontrol kepada masyarakat adat di wilayah dan sumber daya alam mereka sendiri .... Yang penting di sini adalah hak yang diakui dan diberlakukan secara hukum atas tanah dan perairan, yang memberi masyarakat baik insentif ekonomi dan dasar hukum untuk pengelolaan.")
[45] Kaliña and Lokono Peoples, Testimony of Expert Witness, Victoria Tauli-Corpuz, Transkrip Audio, Bagian 2, di 1:30:31.
[46] JK 2017, paragraf 59.
[47] Kaliña and Lokono Peoples, Pernyataan Penutup IACHR, Transkrip Audio, Bagian 3, di 1:32:00 (yang menyatakan bahwa tidak ada “hubungan rasional, sama sekali tidak ada” dalam kasus sub judice).
[48] Lihat misalnya Masyarakat Adat Yakye Axa v. Paraguay, IACTHR, Ser. C, No. 125, 17 Juni 2005, pada paragraf. 145 (yang menjelaskan bahwa agar "pembatasan sesuai dengan Konvensi, maka mereka harus dibenarkan lewat tujuan kolektif yang, karena kepentingan mereka, jelas berlaku atas kebutuhan untuk menikmati sepenuhnya hak-hak yang dibatasi").
[49] Endorois, paragraf 212.
[50] Id. pada paragraf. 214 (yang menyatakan juga bahwa setiap pembatasan hak harus sesuai dengan kebutuhan yang sah, dan harus menjadi tindakan dengan pembatasan paling rendah, dan, pada paragraf 215, bahwa: "pembatasan tidak dapat mengikis hak sehingga hak itu sendiri menjadi ilusi;" "Titik di mana hak semacam itu menjadi ilusi, pembatasan tersebut tidak dapat dianggap proporsional - pembatasan tersebut menjadi pelanggaran hak;" dan "Negara Responden tidak hanya menyangkal semua hak hukum komunitas Endorois atas tanah adat mereka, menjadikan hak kepemilikan mereka pada intinya menjadi ilusi, tapi atas nama pembentukan Suaka Hewan Buruan dan penggusuran masyarakat Endorois dari tanah mereka sendiri, Negara Responden telah melanggar hakikat hak itu sendiri, dan tidak dapat membenarkan gangguan tersebut dengan merujuk pada 'kepentingan umum masyarakat' atau 'kebutuhan publik'").
[51] AfCom v. Kenya, paragraf 130.
[52] Id. pada paragraf 145.
[53] Id. paragraf 189 (yang mendapati bahwa "Responden belum cukup membuktikan klaimnya bahwa penggusuran masyarakat Ogiek adalah untuk pelestarian ekosistem alami Hutan Mau. Mengingat bahwa Responden telah mengganggu hak budaya Ogieks melalui penggusuran dan mengingat bahwa Responden meminta pembenaran yang sama untuk melestarikan ekosistem alami karena interferensinya, Mahkamah menegaskan kembali posisinya bahwa interferensi tersebut tidak dapat dikatakan telah dibenarkan oleh pembenaran yang obyektif dan masuk akal. Mengingat hal ini, alasan yang diakui untuk melestarikan lingkungan alam tidak dapat merupakan pembenaran yang sah atas interferensi Responden terhadap pelaksanaan hak-hak budaya masyarakat Ogiek atas").
[54] Lihat misalnya Xákmok Kásek, para. 157; and IACHR, Indigenous Peoples, Afro-Descendent Communities, and Natural Resources: Human Rights Protection in the Context of Extraction, Exploitation, and Development Activities, OEA/Ser.L/V/II., Doc. 47/15, 31 Desember 2015, paragraf 259.
[55] Lihat misalnya, Masyarakat Adat Kichwa dari Sarayaku v. Ecuador, IACTHR, Ser. C No. 245, 27 Juni 2012, paragraf 146 (yang menjelaskan bahwa "perlindungan wilayah masyarakat adat dan masyarakat asli juga berasal dari kebutuhan untuk menjamin keamanan dan kontinuitas kontrol dan penggunaan sumber daya alam mereka, yang pada gilirannya memungkinkan mereka mempertahankan gaya hidup mereka. Hubungan antara wilayah dan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dan masyarakat asli, yang diperlukan untuk kelangsungan hidup fisik dan budaya mereka dan perkembangan dan kelanjutan pandangan dunia mereka ..."); dan Pembantaian Río Negro, IACTHR, Ser. C No. 250, 4 September 2012, di paragraf 177 (yang menyatakan bahwa "sesuai dengan hukum kasus yang konsisten mengenai masalah masyarakat adat, di mana ia telah mengakui bahwa hubungan masyarakat adat dengan tanah sangat penting untuk mempertahankan struktur budaya mereka dan untuk kelangsungan hidup etnis dan material mereka ...").
[56] Saramaka People, paragraf 128 (“negara dapat membatasi hak masyarakat Saramakas untuk menggunakan dan menikmati tanah dan sumber daya alam yang secara adat mereka miliki hanya apabila pembatasan tersebut sesuai dengan persyaratan yang disebutkan sebelumnya dan, selain itu, apabila negara tidak menolak kelangsungan hidup mereka sebagai masyarakat adat”).
[57] Id. pada paragraf 134.
[58] Lihat misalnya, Pernyataan Penutup Laporan Komite Hak Asasi Manusia: Australia 28/07/2000, CCPR/CO/69/AUS, pada paragraf 10 dan 11 (yang menyatakan bahwa Pasal 27 mensyaratkan bahwa "langkah-langkah yang diperlukan harus dilakukan untuk memulihkan dan melindungi hak dan kepentingan masyarakat adat di daerah asal mereka ..." dan bahwa; "mengamankan kelanjutan dan keberlanjutan bentuk-bentuk tradisional ekonomi minoritas asli [berburu, memancing dan mengumpulkan], dan perlindungan situs-situs yang memiliki kepentingan religius atau budaya bagi minoritas tersebut ... harus dilindungi berdasarkan pasal 27 ... "); persetujuan, Bernard Ominayak, Kepala Lubicon Lake Band vs Kanada, A/45/40, vol. 2 (1990); Apirana Mahuika dkk. vs Selandia Baru, (Komunikasi No. 547/1993, 15/11/2000), CCPR/C/70/D/ 47/1993 (2000); dan Angela Poma Poma v. Peru, CCPR / C / 95 / D / 1457/2006 (2009).
[59] Kaliña and Lokono Peoples, paragraf 196. Lihat juga Yakye Axa v. Paraguay, supra, paragraf 148.
[60] Kaliña and Lokono Peoples, paragraf 196. Lihat juga Garífuna Community of Punta Piedra v. Honduras, IACTHR, Ser. C, No. 304, 8 Oktober 2015, paragraf 168-73 (yang mendapati pelanggaran terhadap hak atas properti dan hak untuk berpastisipasi dalam hubungannya dengan pembentukan sebuah kawasan lindung dan pengadopsian rencana pengelolaannya).
[61] Clyde River (Hamlet) v. Petroleum Geo‑Services [2017] SCC 40, at paragraf 70.
[62] Lihat misalnya, Endorois; Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial: Ethiopia. CERD/C/ETH/CO/15, pada paragraf 22; Pernyataan Penutup Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Thailand, E/C.12/THA/CO/1-2, paragraf 10; dan IACHR, Masyarakat Adat, Komunitas Keturunan Afro, dan Sumber Daya Alam: Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Kegiatan Ekstraksi, Eksploitasi, dan Pembangunan, OEA/Ser.L/V/II., Dok. 47/15, 31 Desember 2015, paragraf 259 (yang menyatakan bahwa "IACHR menggarisbawahi bahwa apabila pembentukan kawasan lindung mempengaruhi wilayah adat, jaminan-jaminan khusus yang disebutkan sebelumnya terkait ekstraksi dan projek pembangunan juga berlaku").
[63] Lihat misalnya, catatan 56-60 supra; Masyarakat Saramaka, paragraf 128-34; Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum No. 21, Hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, E/C.12/GC/21, 21 Desember 2009, pada paragraf 36-7 (yang mewajibkan negara-negara tersebut untuk "menghormati prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan masyarakat adat dalam semua hal yang dicakup oleh hak-hak khusus mereka"); dan Angela Poma Poma v. Peru, CCPR/C/95/D/1457/2006, 24 April 2009, pada paragraf 7.6 (yang menyatakan bahwa "diterimanya tindakan yang secara substansial membahayakan atau mengganggu kegiatan ekonomi penting dari kelompok minoritas atau masyarakat adat tergantung pada apakah warga komunitas bersangkutan telah memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam hubungannya dengan langkah-langkah tersebut dan apakah mereka akan terus mendapatkan keuntungan dari ekonomi tradisional mereka. Komite beranggapan bahwa partisipasi dalam proses pengambilan keputusan harus efektif, yang memerlukan tidak hanya konsultasi saja, namun persetujuan datas dasar informasi awal tanpa paksaan tanpa dari warga komunitas").
[64] Lihat misalnya Keputusan XII/12, Plan of Action on Customary Sustainable Use of Biological Diversity; dan Keputusan X/31, Protected Areas.
[65] Kaliña and Lokono Peoples, paragraf 192.
[66] Id. pada paragraf 197.
[67] Id. pada paragraf 286.
[68] Id.
[69] Id. Catatan kaki 230.
[70] Id. Catatan kaki 231 yang mengutip Pasal 12 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Keputusan yang diadopsi oleh Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati pada pertemuan keduabelas, Keputusan XII/12, paragraf 8 dan 9. Lihat juga Sarayaku v. Ecuador, supra, paragraf 146, 147 (yang menyatakan bahwa "kurangnya akses ke wilayah dan sumber daya alam mereka dapat menghalangi masyarakat adat untuk menggunakan dan menikmati sumber daya alam yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup mereka, melalui kegiatan tradisional mereka, atau memiliki akses ke sistem pengobatan tradisional dan fungsi-fungsi sosio-kultural, sehingga menempatkan mereka pada kondisi kehidupan yang buruk atau tidak manusiawi, meningkatkan kerentanan terhadap penyakit dan epidemi, dan menempatkan mereka pada situasi kerentanan yang ekstrim yang dapat menyebabkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, dan juga menyebabkan mereka menderita dan merugikan pelestarian cara hidup, kebiasaan dan bahasa mereka").
[71] Id.
[72] Garífuna Community of Punta Piedra v. Honduras, IACTHR, Ser. C, No. 304, 8 October 2015, paragraf 168-73, 182.
[73] Id. pada paragraf 292.
[74] Deklarasi PBB, Pasal 28(1).
[75] Lihat misalnya F. MacKay, Indigenous Peoples and the Right to Restitution: Implications of Inter-American Human Rights Jurisprudence for Conservation Practice, 15 IUCN Journal of Conservation Matters 209-22 (2007).
[76] Endorois, paragraf 199 (yang menjelaskan bahwa "Komisi Afrika berpendapat bahwa ... hak atas properti masyarakat Endorois telah dilanggar, terutama oleh pengambilalihan dan penyangkalan kepemilikan atas tanah mereka secara efektif"); dan Rekomendasi 2 (a) (yang merekomendasikan agar Kenya "Mengakui hak kepemilikan atas tanah adat Endorois dan melakukan Restitute atas tanah Endorois").
[77] AfCom v. Kenya, paragraf 219-20 (mengenai restitusi) dan 223 (di mana “Pengadilan memutuskan bahwa pengadilan akan memerintahkan segala macam bentuk tindakan perbaikan dalam keputusan terpisah, dengan mempetimbangkan pengajuan tambahan dari para Pihak”).
[78] Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, misalnya, telah secara eksplisit mengartikulasikan prinsip-prinsip yang berlaku untuk pembentukan cagar alam di wilayah masyarakat adat. Dua peraturan utama yang saling terkait berlaku: pertama, pada tahun 2002, Komite menyatakan bahwa "tidak boleh ada keputusan yang berkaitan langsung dengan hak dan kepentingan anggota masyarakat adat diambil tanpa persetujuan mereka" dalam hubungannya dengan cagar alam di Botswana. Botswana. 23/08/2002, A/57/18, paragraph 292-314, di 304. Kedua, sehubungan dengan sebuah taman nasional di Sri Lanka, Komite meminta negara untuk "mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan menggunakan lahan komunal, wilayah dan sumber daya mereka." Sri Lanka. 14/09/2001, A/56/18, paragraf 321-342, pada 335. Lihat juga Ethiopia, CERD/C/ETH/CO/15, paragraf 22; dan Suriname, CERD/C/SUR/CO/13-15, paragraf 26. Secara lebih umum lagi, Komite telah mengakui bahwa masyarakat adat memiliki hak atas restitusi terhadap wilayah dan sumber tradisional mereka yang juga berlaku bagi cagar alam yang sebelumnya dibentuk di wilayah mereka. Lihat misalnya, Pernyataan Penutup Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial: Guatemala, CERD/C/GTM/CO/11, 15 Mei 2006, pada paragraf 17.
[79] Perjanjian Durban: Rencana Aksi, diadopsi pada Kongres Taman Dunia IUCN, Durban Afrika Selatan (2003), di hal. 248-9, yang menyerukan "mekanisme partisipatif untuk restitusi tanah adat dan wilayah adat masyarakat adat yang dijadikan kawasan lindung tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan mereka ...;" dan sebuah strategi pendekatan dan rekomendasi inovatif untuk meningkatkan keragaman, kualitas dan vitalitas tata kelola dalam dekade berikutnya, Kongres Taman Dunia 2014, di hal. 7, memutuskan bahwa "Pemerintah dan badan hak asasi manusia PBB ... [harus] membentuk mekanisme pemantauan, restitusi dan akuntabilitas yang efektif untuk memastikan bahwa pendekatan berbasis hak dan standar-standar keadilan internasional diterapkan di seluruh program konservasi. Hal ini harus memperbaiki ketidakadilan yang terjadi di masa lalu dan yang masih berlanjut yang diderita oleh masyarakat adat ... termasuk restitusi atas tanah yang diambil alih tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan ... ").
[80] Xákmok Kásek, paragraf 274.
[81] Id. pada paragraf 82.
[82] Id. pada paragraf 116 (Lihat juga paragraf 311-13, 337(26)), dan, paragraf 313 (yang memerintahkan agar “negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk emastikan bahwa Keputusan No. 11,804 [mengenai kawasan lindung] tidak menghalangi pengembalian tanah adat tersebut kepada warga Komunitas tersebut”)).
[83] Kaliña and Lokono Peoples, paragraf 168.
[84] Id. paragraf 166 (yang menjelaskan bahwa "pelanggaran yang telah diverifikasi akibat kegagalan untuk mengakui hak atas properti dari masyarakat Kaliña dan Lokono, serta kegagalan untuk menandai batas wilayah mereka, tidak memungkinkan Pengadilan untuk mengetahui dimensi yang tepat dari wilayah tradisional mereka yaitu di dalam cagar alam ini, dan yang telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak atas properti kolektif").
[85] Id.
[86] Id. pada paragraf 168 (yang merujuk pada paragraf 155 dan 165).
[87] Id. paragraf 173 (juga menjelaskan bahwa "Pengadilan menemukan bahwa kawasan lindung tidak hanya terdiri dari dimensi biologisnya, tetapi juga dimensi sosial budaya dan oleh karena itu, memerlukan pendekatan interdisipliner dan partisipatif"). Lihat juga paragraf 181 (yang menyatakan bahwa "... perlindungan wilayah alam dan hak masyarakat adat dan masyarakat asli untuk melindungi sumber daya alam di wilayah mereka sesuai, dan menekankan bahwa, dikarenakan keterkaitan mereka dengan alam dan cara hidup mereka, masyarakat adat dan masyarakat asli dapat memberikan kontribusi penting bagi konservasi tersebut").
Overview
- Resource Type:
- News
- Publication date:
- 29 November 2017
- Programmes:
- Access to Justice Law and Policy Reform Conservation and human rights