Skip to content

Laporan terbaru mendorong Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional Asia Tenggara dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk mengadopsi Resolusi baru mengenai hak asasi manusia dan agribisnis

Pada tanggal 7 - 9 Agustus 2013 perwakilan dari Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional Filipina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Timor Leste dan Myanmar serta organisasi-organisasi masyarakat sipil pendukung, mengadakan pertemuan di Bangkok untuk menilai perkembangan di sektor agribisnis dan HAM sesudah Deklarasi Bali tentang Hak Asasi Manusia dan Agribisnis di Asia Tenggara pada tahun 2011 dan Lokakarya Phnom Penh tentang Hak Asasi Manusia dan Agribisnis pada tahun 2012, dan juga untuk mengembangkan rencana aksi pelaksanaan penegakan hak asasi manusia yang efektif oleh pihak Negara di sektor agribisnis. Pertemuan itu diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Thailand, dengan dukungan dari Forest Peoples Programme dan Rights and Resources Initiative.

Profesor James Anaya, pelapor khusus PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, membuka lokakarya dan dalam presentasinya menyatakankeprihatinan yang sangat mendalam.

“Ekspansi yang cepat dari agribisnis di wilayah ini, ...kurangnya kontrol regulasi yang memadai dan pengakuan hak-hak [serta] tidak adanya praktek bisnis yang bertanggung jawab, seringkali mengakibatkan masalah yang meluas bagi masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat.”

Kantor Perwakilan Thailand untuk Komisi Antar Pemerintah ASEAN tentang Hak-Hak Asasi Manusia (AICHR) melaporkan adanya peluang untuk memperkuat kerangka hak asasi manusia melalui mekanisme HAM ASEAN, termasuk lewat keikutsertaan dalam peninjauan Kerangka Acuan (TOR/Terms of Reference) AICHR di tahun 2014.

Devasish Roy, anggota Forum Tetap PBB tentang Isu-Isu Adat juga tampil dalam lokakarya tersebut dan menekankan bahwa sangat penting bagi lembaga keuangan internasional untuk menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk hak mereka untuk memberikan atau tidak memberikan Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC/Free, Prior and Informed Consent) atas langkah-langkah yang dapat mempengaruhi hak-hak mereka. Ia juga menyoroti pentingnya negara memastikan bahwa perusahaan telah menegakkan hak asasi manusia.

Adrienne Gardaz, dari Inisiatif baru Pertanian Berkelanjutan dari UN Global Compact, berbagi pengalaman dan tujuan-tujuan dari Global Compact dalam mendorong perusahaan untuk membuat komitmen publik dalam menegakkan prinsip-prinsip inti hak asasi manusia dan melaporkan kemajuan pelaksanaannya setiap tahun.

Lokakarya ini membahas tren agribisnis terkini di Asia Tenggara seperti yang dirangkum dalam sebuah laporan baru bertajuk Agribisnis, Pembebasan Tanah Skala Besar dan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara. Laporan tersebut menunjukkan bahwa selain berbagai perhatian nasional yang penting  terjadi peningkatan ancaman pada lahan di seluruh Asia Tenggara akibat ekspansi agribisnis, khususnya perkebunan kelapa sawit dan tebu. Laporan ini juga membenarkan bahwa dalam ketiadaan jaminan penguasaan lahan, tata kelola lahan yang baik dan perlindungan hak asasi manusia, ekspansi agribisnis skala besar menyebabkan kerusakan sosial dan lingkungan yang serius.

Dilaporkan dalam upaya-upaya terbaru mereka untuk melindungi hak asasi manusia, Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional ini menyatakan bahwa tidak hanya skema agribisnis skala besar namun pertambangan, minyak, gas, pembangkit listrik tenaga air dan pembangunan jalan juga menyebabkan meningkatnya konflik tanah. Meskipun hal ini kini semakin diakui oleh lembaga-lembaga pemerintah, sayangnya upaya-upaya sulit yang dilakukan oleh komisi-komisi ini untuk mereformasi dan memediasi konflik tidak sebanding dengan jumlah dan skala kasus.

Para peserta menyimak laporan rinci tentang bagaimana investasi lintas batas di bidang agribisnis dan usaha-usaha lainnya telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia serius seperti:

  • Kurangnya penghargaan terhadap hak atas tanah adat,
  • Pelanggaran hak masyarakat adat atas Keputusan Bbebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC/KBDD),
  • Ancaman terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian lokal,
  • Penggusuran dan relokasi secara paksa,
  • Kurangnya atau tidak adilnya  kompensasi dan kesepakatan dengan petani kecil,
  • Kriminalisasi terhadap anggota masyarakat dan aktivis bidang hak asasi manusia dan tanah,
  • Pemusnahan lahan dan pemiskinan,
  • Mempekerjakan anak di bawah umur dan kerja paksa,
  • Kurangnya akses terhadap mekanisme untuk ganti rugi yang efektif.

Dengan rasa prihatin yang mendalam para peserta menyebutkan sejumlah laporan dari banyak negara mengenai keterlibatan militer dan negara dalam pelanggaran hak asasi manusia dan dalam perampasan tanah dari masyarakat dan komunitas adat tanpa persetujuan mereka.

Lokakarya ini mencapai kesepakatan bahwa pentingnya memperkuat koordinasi di dalam pemerintahan dan kolaborasi antar Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional dan antar organisasi non-pemerintah untuk mengatasi tantangan ini.

Dalam lokakarya tersebut dikenalkan Resolusi Montien (Montien Reolution) untuk menyerukan kepada seluruh negara Asia Tenggara agar membentuk Komisi Hak Asasi Manusia independen mereka sendiri, sejalan dengan hukum internasional, terkait bahwa bahwa Singapura, Brunei Darussalam, Laos, Vietnam dan Kamboja belum memiliki Komisi Hak Asasi Manusia mereka sendiri. Resolusi ini menyebutkan kembali kebutuhan Negara untuk mengembangkan kerangka regulasi yang efektif yang menjamin hak-hak masyarakat atas tanah, wilayah dan sumber daya dan yang mewajibkan sektor agribisnis untuk menghormati hak-hak tersebut sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Panduan Sukarela tentang Tata Kelola Penguasaan Tanah, Perikanan dan Kehutanan yang Bertanggung Jawab dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional.

Menyambut baik upaya-upaya sektor swasta untuk menghilangkan perdagangan komoditas yang diproduksi dengan cara yang destruktif, seperti kelapa sawit, kayu, kedelai, dan bahan bakar nabati dan gula, Resolusi ini menuntut adanya penelusuran rantai pasokan secara penuh di mana perlindungan lingkungan dipadukan dengan perlindungan komprehensif  hak asasi manusia. Resolusi ini juga menekankan kebutuhan mendesak untuk mengidentifikasi dan mendorong sistem produksi alternatif, yang didasarkan pada hak yang terjamin, sehingga masyarakat setempat, masyarakat adat dan petani kecil dapat memiliki kontrol yang lebih besar atas produksi berdasarkan penggunaan lahan yang beragam.

Resolusi ini juga menyerukan tindakan terkoordinasi oleh perusahaan maupun pemerintah untuk menekan eksploitasi para pekerja, terutama pekerja migran, pekerja perempuan dan pekerja anak di perkebunan skala besar, dan menyerukan agar pemerintah melakukan upaya-upaya tegas untuk menghapuskan segala bentuk kerja paksa dan praktek mirip perbudakan dari sektor agribisnis di wilayah tersebut.

Lokakarya berikutnya tentang Hak Asasi Manusia dan Agribisnis diperkirakan berlangsung di Myanmar pada tahun 2014, lewat kerjasama dengan perwakilan Myanmar yang hadir dan diselenggarakan bersama Forest Peoples Programme.

Informasi lebih lanjut:

Overview

Resource Type:
News
Publication date:
1 October 2013
Programmes:
Supply Chains and Trade Access to Justice Global Finance

Show cookie settings