Skip to content

Indonesia: Permohonan baru kepada UN-CERD untuk penangguhan proyek MIFEE di Papua menunggu penyelesaian ganti rugi dan terwujudnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat Malind

Pada tanggal 25 Juli 2013, dua puluh enam (26) organisasi di Indonesia dan internasional serta Forest Peoples Programme menyampaikan laporan kepada Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (UN-CERD) yang meminta agar Komite tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya di Merauke, provinsi Papua, Indonesia, di bawah prosedur aksi mendesak dan peringatan dini milik Komite (EW/UA procedures-Early Warning/Urgent Action). Laporan ini menyoroti kerugian-kerugian besar yang menimpa masyarakat asli Papua yang ditimbulkan oleh Merauke Integrated Food and Energy Estate (proyek MIFEE) yang merupakan mega-proyek agro-industri yang diinisiasi negara yang saat ini mencakup sekitar 2,5 juta hektar tanah adat di Merauke. Kerugian-kerugian ini meliputi: pelanggaran hak masyarakat Malind atas pangan, pembatasan kebebasan berekspresi, kurangnya penghormatan terhadap Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (KBDD/FPIC), pemiskinan karena janji-janji manfaat ekonomi yang tak terpenuhi, perampasan tanah adat semena-mena tanpa kompensasi yang layak, dan pengabaian atau kooptasi perwakilan dan lembaga adat. Penyampaian surat yang pertama kepada UN-CERD dua tahun lalu telah menyebabkan Komite mengadopsi sebuah langkah komunikasi di bawah prosedur EW/UA dengan pemerintah Indonesia pada tanggal 2 September 2011.  

Namun, meskipun ada keprihatinan dan rekomendasi dari Komite dan penyerahan surat kedua tentang situasi masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya pada tanggal 6 Februari 2012, pemerintah Indonesia telah gagal untuk mengambil tindakan korektif dan situasi kian memburuk. Belum terlihat ada perubahan dalam kebijakan atau praktik yang berkaitan dengan proyek MIFEE, dan terus terjadi pengabaian hak-hak masyarakat adat Malind yang dijamin secara internasional, terutama di bawah Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. UU Otsus (Otonomi Khusus) Papua, yang ditujukan untuk memperbaiki ketimpangan yang parah dan pelanggaran hak asasi manusia serta untuk memfokuskan kembali aspirasi penentuan nasib sendiri yang diekspresikan oleh mayoritas masyarakat adat Papua, sebagian besar masih tidak efektif, terutama akibat dari kurangnya UU pelaksana dan tindakan yang diperlukan.

Para penandatangan surat yang dikirmkan ke UN-CERD akhir Juli 2013 tersebut meminta Komite untuk mendorong pemerintah Indonesia segera menangguhkan setiap bagian dari proyek MIFEE yang dapat mengancam kelangsungan hidup budaya masyarakat yang terkena dampak dan untuk memberikan dukungan langsung kepada masyarakat adat yang mata pencariannya terampas, yang harus dirancang dengan partisipasi dan persetujuan mereka secara penuh. Pengajuan tersebut juga mendesak pemerintah Indonesia untuk, sesegera mungkin, memberlakukan dan menerapkan keikutsertaan masyarakat adat secara  penuh dan efektif, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang diadopsi oleh DPR Indonesia pada tanggal 16 Desember 2011. Surat tersebut lebih lanjut merekomendasikan agar pemerintah Indonesia meminta, atau menerima permintaan, kunjungan ke lokasi dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Hak atas Pangan, dan tentang Bentuk-bentuk Perbudakan Kontemporer, untuk membantu pemerintah Indonesia memenuhi kewajiban internasionalnya, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat di Papua.

Informasi lebih lanjut:

Overview

Resource Type:
News
Publication date:
1 October 2013
Region:
Indonesia
Programmes:
Supply Chains and Trade Access to Justice Legal Empowerment Global Finance

Show cookie settings