Industri Ekstraktif dan Hak Asasi Manusia di Afrika Tengah
Kelompok Kerja Komisi Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat Afrika (ACHPR) bidang Industri Ekstraktif, Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia mengadakan konsultasi sub-regional untuk Afrika Tengah, di Lubumbashi, Republik Demokratik Kongo tanggal 13-15 Juli 2015. Konsultasi tersebut mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk memungkinkan adanya dialog terbuka tentang tantangan-tantangan yang dihadapi dalam konteks kegiatan ekstraktif di Afrika Tengah, dan bagaimana mengembangkan hal-hal terkait solusi yang berkelanjutan, praktik terbaik dan langkah ke depan.
Organisasi masyarakat sipil, aktivis, perwakilan masyarakat adat dan pengacara dari sub-region tersebut mengulas kerangka hukum tenurial lahan di Afrika Tengah, pelanggaran hak asasi manusia yang ditimbulkan kegiatan industri ekstraktif, dan juga mengevaluasi mekanisme akuntabilitas saat ini untuk eksploitasi sumber daya alam di Afrika Tengah.
Hak-hak masyarakat atas tanah dan kondisi investasi di Afrika Tengah
Hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan sumber daya alam dan dampak industri ekstraktif terhadap HAM dan lingkungan adalah masalah yang kompleks di Afrika Tengah. Sistem tenurial lahan di sebagian besar negara Afrika Tengah menimbulkan ketidakpastian besar mengenai hak-hak ulayat masyarakat adat dan masyarakat lokal. Menurut sebagian besar Konstitusi nasional, Negara menerapkan kedaulatan permanen, khususnya atas tanah, lapisan tanah, sumber daya air dan hutan, udara, sungai, danau dan wilayah maritim serta laut teritorial. Kepemilikan tanah dan sumber daya alam publik ini dituangkan dalam berbagai undang-undang sektoral, termasuk UU pertambangan dan hutan, yang membatasi hak-hak masyarakat adat untuk secara bebas mengelola dan menentukan hak-hak mereka atas tanah dan mata pencaharian mereka. Tenurial yang tidak aman membuat perampasan tanah di sub-region tersebut mustahil dibendung, dan akibatnya, ekspansi industri pertambangan memberi tekanan besar pada hak-hak masyarakat atas tanah.
Pendekatan ekonomi jangka pendek terhadap tata kelola sumber daya alam masih terus digunakan di Afrika Tengah, yang menimbulkan konsekuensi serius terhadap pembangunan sosial dan lingkungan hidup. Bahkan ketika negara-negara Afrika Tengah melakukan reformasi hukum untuk meninjau UU pertambangan mereka, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan lingkungan yang ramah untuk menarik investor asing melalui berbagai insentif seperti keringanan pajak. Perampasan tanah, penggusuran paksa, pekerja anak dan polusi sumber daya air membahayakan pembangunan sosial masyarakat lokal yang jarang melihat manfaat ekonomi dari eksploitasi yang terjadi.
Ketua Kelompok Kerja, Komisaris Pacifique Manirakiza menekankan bahwa meskipun sumber daya alam merupakan sumber pendapatan penting bagi perekonomian negara-negara Afrika Tengah, kontribusi perusahaan pertambangan terhadap pembangunan daerah sangat minim. Kelompok Kerja (Pokja) tersebut juga mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks industri ekstraktif tidak hanya melibatkan pelanggaran hak-hak substantif, tetapi juga hak-hak prosedural seperti hak atas konsultasi, partisipasi dan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Dalam hal ini, poin-poin tindakan potensial yang dipertimbangkan oleh Kelompok Kerja mencakup mengembangkan Pedoman FPIC bekerjasama dengan mitra-mitra penelitian seperti International Service for Human Rights (ISHR), Legal Resources Centre (LRC), dan FPP.
Ada konsensus umum di antara anggota Kelompok Kerja ACHPR dan peserta Konsultasi bahwa mengklarifikasi dan mengamankan tenurial tanah dan hak atas sumber daya hutan merupakan prasyarat penting untuk rancangan pertambangan yang berkelanjutan di sub-region tersebut.
Mencari tempat bernaung: penderitaan masyarakat yang digusur dari tanah mereka oleh Ruashi Mining Sprl
Dalam konferensi tersebut disebutkan sebuah contoh perjuangan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam menghadapi industri ekstraktif yang mendesak untuk ditindaklanjuti. Penggusuran paksa adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum dihadapi oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam eksploitasi sumber daya alam di Afrika Tengah dan di RDK pada khususnya, dan Pokja juga prihatin dengan penggusuran paksa masyarakat lokal yang tinggal di desa-desa dekat kota Lubumbashi. Laporan-laporan terbaru ini menambah sejarah penggusuran besar-besaran di Provinsi Katanga akibat industri pertambangan. Pokja juga telah melakukan kunjungan lapangan ke lokasi Ruashi Mining Sprl di mana setidaknya 6.000 keluarga telah diusir dari tanah mereka di tahun 2010 tanpa kompensasi yang memadai.
Menurut Kapupu Diwa Mutimanwa, pemimpin masyarakat adat di RDK, masalah tanah adat masyarakat adat yang telah diambil alih untuk keperluan pertambangan membutuhkan perhatian khusus dari Komisi Afrika.
Overview
- Resource Type:
- News
- Publication date:
- 29 September 2015
- Programmes:
- Conservation and human rights Access to Justice Law and Policy Reform