Mengamankan hutan masyarakat dan meningkatkan mata pencaharian di Republik Kongo
Kehutanan Masyarakat, yang dipahami sebagai "hak masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan yang menjadi tempat mereka bergantung, dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka dan mendapat pengakuan oleh negara"* tetap merupakan tujuan yang akan dicapai di Republik Kongo. Saat ini belum ada hutan masyarakat di Kongo.
Namun, rangkaian pembangunan komunitas atau sommries de développement communautaire (SDC) telah dibentuk di dalam pengelolaan konsesi hutan, yang didukung oleh mekanisme pembagian keuntungan dari pemanenan kayu. Masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam konsesi hutan, termasuk masyarakat adat, memiliki kesempatan untuk mengembangkan kegiatan penebangan tradisional dan/atau pemrosesan sumber daya hutan dan satwa liar dalam SDC. Kegiatan-kegiatan ini dikembangkan berdasarkan rencana pengelolaan sederhana atau plans simples de gestion yang dibuat dengan dukungan dari Dinas Tata Air dan Kehutanan, layanan publik lainnya dan sejumlah LSM dan asosiasi.
Pada bulan Agustus, Forest Peoples Programme (FPP) bekerjasama dengan sebuah konsorsium LSM internasional memulai sebuah proyek yang disebut CoNGOs, yang merupakan kolaborasi LSM untuk mata pencaharian masyarakat yang adil dan berkelanjutan di hutan-hutan di Congo Basin. Teori perubahan yang diajukan oleh konsorsium ini menegaskan bahwa menciptakan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat yang sejati, efektif, adil, dan berkelanjutan memerlukan pendekatan proaktif dan partisipatif untuk mengatasi kendala yang banyak dihadapi masyarakat. Proyek ini akan berkontribusi terhadap program kerja DFID Meningkatkan Mata pencaharian dan Penggunaan Lahan di Hutan-Hutan di Congo Basin (ILLUCBF).
Di semua daerah pedesaan, tanah menyediakan sumber pendapatan utama, dan juga berfungsi sebagai aset fundamental bagi pemberdayaan ekonomi kelompok miskin dan terpinggirkan. Keamanan tenurial dapat melengkapi masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat tentang opsi-opsi mereka, dan memberdayakan mereka untuk mengklaim hak-hak mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan berkelanjutan mereka sendiri. Namun, minimnya peraturan, kurangnya kapasitas masyarakat untuk melaksanakan dan mengelola hutan masyarakat, serta minimnya rencana pengelolaan untuk SDC yang sudah ada menyebabkan tidak terpromosikannya pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat yang sejati, efektif, adil, dan berkelanjutan.
Pada bulan November, FPP bekerjasama dengan mitra lokal Organization pour le Développement et les Droits Humains au Congo (ODDHC) melakukan kunjungan lapangan ke wilayah Sangha, di bagian utara Kongo, sebagai bagian dari konsultasi awal dengan komunitas yang menjadi sasaran proyek CoNGOs. Ada sejumlah masalah yang berhasil diidentifikasi pada akhir konsultasi:
- Pembatasan-pembatasan dari SDC: Menurut UU Kehutanan Kongo, SDC berada di dalam konsesi pengelolaan hutan, desa dan kondisi lingkungan tertentu, dan dipetakan dan ditujukan untuk kegiatan ekonomi masyarakat. Namun, komunitas yang diajak konsultasi di desa Ngombe dan Ngatongo, di kota kecil Pokola mengeluhkan pembatasan-pembatasan dari SDC, yang tidak lagi memungkinkan mereka untuk melakukan pertanian, berburu atau mengumpulkan hasil alam.
- Dana pembangunan daerah atau Fonds de Developpement Local (FDL): masyarakat telah berulang kali melaporkan bahwa ada miskomunikasi antara dewan konsultasi atau Conseil de concertation yang bertindak sebagai badan pengelola proyek FDL dengan proyek-proyek masyarakat.
Menurut peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan setelah diadopsinya UU Kehutanan Kongo pada tahun 2000, ada dua cara dimana perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di Republik Kongo dapat berbagi sebagian dari pendapatan mereka untuk pembangunan sosial ekonomi setempat, yaitu (1) dengan memenuhi kewajiban kontrak yang ditetapkan dalam klausul sosial atau cahier de charges; dan (2) melalui kontribusi FDL untuk membiayai proyek-proyek mikro untuk pembangunan daerah yang diusulkan dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat. Ada dua masalah dapat diamati pada tahap ini dari berfungsinya FDL:
- Conseil de concertation hanya melakukan pertemuan satu kali dalam setahun, yang tidak cukup berarti untuk menjawab banyaknya tantangan yang dihadapi masyarakat;
- Kesulitan tersembunyi dan kekurangan-kekurangan dalam identifikasi proyek-proyek masyarakat: kasus produksi kakao di Unité Forestièred' Aménagement (UFA) Pokola misalnya. Di Ngatongo khususnya, masyarakat melaporkan bahwa CIB –anak perusahaan OLAM –saat ini tengah mendorong masyarakat untuk terlibat dalam produksi kakao di dalam SDC. Dan tampaknya OLAM, melalui CIB, telah memulai sebuah program untuk menghidupkan kembali perkebunan kakao di Kongo. Masyarakat adat pada khususnya mengatakan bahwa produksi kakao bukanlah pilihan yang tepat bagi mereka mengingat cara hidup mereka yang tidak sesuai dan juga karena kelanjutan sarana subsisten mereka, karena mereka harus menunggu setidaknya empat tahun sebelum mengharapkan panen pertama.
- FDL dibentuk dengan biaya 200 franc CFA per meter kubik kayu yang dapat dijual, yang dipanen oleh perusahaan kehutanan; hibah dari dewan daerah dan berbagai hadiah dan sumbangan, yang menurut masyarakat tidak cukup untuk membantu peningkatan mata pencaharian mereka.
Selama dua tahun ke depan, FPP akan terus mendukung masyarakat di UFA Ngombe, Pokola dan Kabo, dengan mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan masyarakat dan memperkuat kapasitas masyarakat untuk mengusulkan dan melaksanakan proyek-proyek mikro.
Oleh Lassana Kone
* Procès-verbal de l’atelier sur la Foresterie Communautaire, Fern, Brussels, 3-4 April 2014, P.1.
Overview
- Resource Type:
- News
- Publication date:
- 2 May 2017
- Region:
- Republic of Congo