Republik Demokratik Kongo: Lokakarya-lokakarya hukum di Bukavu, Boma, dan Kinshasa, tentang perlindungan hak-hak masyarakat hutan yang lebih baik
Di bulan Juli dan Agustus 2012, tiga organisasi masyarakat sipil di Republik Demokratik Kongo (DRC) - Actions pour les Droits, l’Environnement et la Vie (ADEV), the Centre d’Accompagnement des Autochtones Pygmées et Minoritaires Vulnérables (CAMV), dan Cercle pour la défense de l’environnement (CEDEN) – menyelenggarakan serangkaian lokakarya hukum bekerja sama dengan Forest Peoples Programme dengan dukungan dana dari Badan Pembangunan Internasional Swedia (Swedish International Development Agency/SIDA). Lokakarya-lokakarya tersebut berupaya menguatkan kapasitas hukum organisasi-organisasi tersebut dan mempromosikan sebuah pemahaman yang lebih baik akan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal atas tanah dan sumber-sumber daya alam. Lokakarya tersebut juga untuk menguatkan pengertian mereka akan mekanisme untuk membela dan mempertahankan hak-hak masyarakat dalam proses REDD+ di Republik Demoraktik Kongo (RDK).
Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (KBDD/FPIC)
“Saya kini memahami apa maksud Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan. Hak ini mengharuskan lebih dari sekadar melakukan konsultasi dengan masyarakat; para pengembang memiliki kewajiban untuk mendapatkan persetujuan masyarakat sebelum melanjutkan proyek mereka”.
- Jean-Claude Ikangamino, CAMV.
Selama lokakarya-lokakarya tersebut, para peserta membicarakan hak atas Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (KBDD/FPIC), yang dilindungi oleh undang-undang internasional dan regional, dan yang berarti masyarakat adat memiliki hak untuk memberikan persetujuan mereka atau menolak proyek apa pun yang mungkin menimbulkan dampak pada hak-hak mereka atas lahan dan sumber-sumber daya alam. Dijelaskan bahwa hak ini telah mengalami perkembangan dalam undang-undang internasional dan kini semakin diterima untuk diperluas untuk tidak hanya mencakup masyarakat adat namun juga masyarakat lokal.
Diskusi-diskusi juga difokuskan pada bagaimana hak atas KBDD/FPIC tidak dilindungi dalam undang-undang nasional Kongo, meskipun pemerintah telah menandatangani sejumlah konvensi internasional yang melindungi hak ini. Arrêté Ministériel fixant la procédured’homologation des projets REDD+ (Surat Perintah Menteri tentang prosedur konfirmasi secara resmi untuk proyek-proyek REDD+)[1] menetapkan bahwa setelah menandatangi kontrak kemitraan untuk menilai jasa-jasa lingkungan yang terkait proyek-proyek REDD+, pihak pengembang memiliki waktu 4 tahun untuk mendapatkan validasi proyek-proyek mereka. Validasi khususnya tunduk pada konsultasi dengan stakeholder yang relevan, sesuai dengan Procédure d’enquête publique préalable à l’octroi d’une concession forestière (Prosedur permintaan masyarakat (public enquiry) sebelum memberikan konsesi hutan).[2] Prosedur ini tidak menghormati kewajiban internasional RDK: Prosedur ini bertujuan untuk menginformasikan dan melakukan konsultasi dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat tentang proyek-proyek yang mungkin menimbulkan dampak terhadap tanah dan sumber daya mereka; namun prosedur ini tidak mengijinkan masyarakat menentang implementasi proyek jika mereka percaya bahwa proyek-proyek tersebut akan mendatangkan dampak negatif terhadap tanah, sumber daya atau sumber pencaharian mereka. Ini melanggar hak mereka atas Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan.
Gender dan proses REDD+
“Untuk pertama kalinya, saya memahami bahwa gender juga menyangkut kita, kaum laki-laki. Di negara kita, laki-laki jarang diasosiasikan dengan kegiatan-kegiatan gender. Dalam konteks proyek-proyek REDD+, kita semua harus terlibat dan memastikan bahwa kaum perempuan bisa mendapatkan manfaat dari REDD+.”
- Ronsard Boika, Petugas Pendidikan Lingkungan Hidup, CEDEN
Pentingnya gender dalam proses REDD+ merupakan tema lain yang dicakup dalam lokakarya-lokakarya yang diselenggarakan. Peserta menyatakan bahwa meskipun ada interaksi yang kuat antara perempuan dengan lingkungan mereka dan ketergantungan mereka pada sumber-sumber daya alam, perempuan tidak mengontrol (menguasai) tanah mereka atau sumber-sumber daya alam dan sering kali mengalami diskriminasi saat mereka mengakses tanah maupun sumber-sumber daya alam. Banyak yang menyatakan keprihatinan bahwa REDD+ bisa menimbulkan konsekuensi negatif bagi perempuan dengan lebih lanjut membatasi akses mereka ke sumber-sumber daya hutan dan dengan demikian memperparah ketidaksetaraan gender dan kemiskinan di kalangan perempuan. Karenanya menjadi penting sekali untuk memastikan adanya partisipasi penuh dan efektif kaum perempuan dalam proses REDD+. Sebagaimana ditekankan oleh Patricia Mayolongo, pengacara di ADEV, “partisipasi ini haruslah bersifat substantif dan efektif; partisipasi ini harus lebih dari sekadar menghitung jumlah peserta perempuan yang hadir”.
Peserta dari ADEV, CAMV, dan CEDEN mendesak pentingnya untuk membagikan pengetahuan yang mereka dapatkan kepada masyarakat dan untuk mendukung mereka dalam membela hak-hak mereka. Direktur Eksekutif CAMV, Pacifique Mukumba, menegaskan bahwa “setelah fase teoritis ini, kita harus mempraktikkan konsep-konsep baru yang kita pelajari. Kita berniat memanfaatkan berbagai cara regional dan internasional untuk melindungi dan membela hak-hak masyarakat adat.”
[1]Arrêté Ministériel No 004/CAB/MIN/ECN-T/012 of 15 February 2012, fixant la procédure d’homologation des projets REDD+.
[2]Arrêté Ministériel No 24/CAB/MIN/ECN-T/15/JEB/08 of 7 August 2008, fixant la procédure d’enquête publique préalable à l’octroi d’une concession forestière.
Overview
- Resource Type:
- News
- Publication date:
- 15 October 2012
- Region:
- Democratic Republic of Congo (DRC)
- Programmes:
- Climate and forest policy and finance Legal Empowerment Access to Justice Law and Policy Reform
- Partners:
- Actions pour les Droits, l’Environnement et la Vie (ADEV) Centre d’Accompagnement des Autochtones Pygmées et Minoritaires Vulnérables (CAMV) Cercle pour la defense de l'environnement (CEDEN)