Skip to content

"Ancaman kematian itu kuat dan terus membara." Aktor-aktor non-negara perlu terlibat untuk melindungi para pembela hak asasi manusia apabila negara gagal melakukannya

Para pembela hak asasi manusia, pembisik dan saksi menghadapi berbagai macam bahaya saat berjuang mengungkap pelanggaran hak asasi manusia dan penggunaan sumber daya ilegal terkait, perampasan tanah dan korupsi. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa para pembela HAM menghadapi risiko yang semakin tinggi, namun mekanisme perlindungan saat ini gagal memberikannya. Ketergantungan pada skema perlindungan nasional yang seringkali lemah atau tidak ada membuat para pembela HAM rentan bahaya. Jika negara gagal memenuhi tugas mereka untuk melindungi para pembela HAM, aktor-aktor non-negara perlu terlibat.

Pada tahun 2016, Global Witness mendokumentasikan 200 kematian pembela HAM di seluruh dunia; yang merupakan sebuah rekor. Front Line Defenders mencatat 281 pembunuhan di tahun yang sama, hampir separuhnya menimpa para pembela yang memperjuangkan hak-hak adat, tanah, atau lingkungan. Mengingat bahwa banyak pembunuhan tidak dilaporkan, angka-angka ini sangat mungkin tidak menggambarkan realita yang menimpa pembela HAM di seluruh dunia.

Pada tahun 2017, tingkat pembunuhan terhadap pembela hak asasi manusia amat mengejutkan. Di Kolombia, terlepas dari adanya skema perlindungan nasional yang bertugas melindungi orang-orang yang terancam hidupnya, kenyataan yang dihadapi oleh pembela hak asasi manusia, aktivis hak atas tanah dan pemimpin sosial amat mengkhawatirkan. Pada akhir November, Mario Castaño Bravo, aktivis hak atas tanah dan pemimpin Komunitas Madre Unión dan La Large Tumaradó Community Council, dibunuh di depan keluarganya meski berada di bawah perlindungan UNP; hanya beberapa jam setelah pengawal keamanannya mengantarnya pulang. Hernán Bedoya, seorang pembela tanah dan pemimpin komunitas Bijao Onofre, dibunuh tak lama setelah itu - dua hari yang lalu, pada tanggal 8 Desember 2017. Hernán telah diberi rompi anti peluru dan telepon genggam oleh UNP setelah mendapat ancaman pembunuhan terus-menerus, namun dua orang bersenjata berhasil mendekat dan menembaknya dari sepeda motor. Baik Hernán dan Mario sebelumnya telah berhasil mengamankan kembali tanah mereka setelah perjuangan panjang untuk mendapatkan ganti rugi dan masing-masing terus membantu petani-petani yang digusur lainnya untuk mendapatkan restitusi lahan. Mereka dengan damai melawan perkebunan kelapa sawit, peternakan dan perusahaan perkebunan pisang yang kuat dan mengecam mereka karena merebut tanah dari petani-petani yang digusur. Akibatnya, mereka menerima banyak ancaman pembunuhan dan meski mendapat perlindungan dari negara, keduanya kini telah meninggal dunia.

Seorang pembela dari Kolombia lainnya, Willian Aljure, dan anggota keluarganya telah berjuang mendapatkan kembali lahan pertanian keluarga mereka di kotamadya Mapiripán, setelah kedatangan perusahaan kelapa sawit dan anggota RSPO, Poligrow. Willian selama bertahun-tahun berada di bawah pengawasan dan ancaman kekerasan oleh kelompok paramiliter sebelum akhirnya mendapat perlindungan negara oleh Unidad Nacional de Protección (UNP). Namun, komitmen terhadap kerahasiaan para pengawal yang ditugaskan amat meragukan, yang menempatkan pembela ini pada risiko lebih lanjut. Kecurigaan atas tindak korupsi, atau salah urus dana publik di UNP, muncul saat pengawal yang ditugaskan menolak untuk menemani sang pembela dalam perjalanan-perjalanan tertentu karena kurangnya sumber daya menurut laporan, walaupun korban telah diyakinkan akan adanya alokasi dana untuk perlindungannya. Setelah pengaduan yang berkepanjangan, pernyataan berulang kepada pihak berwajib dan pertanyaan resmi yang diajukan kedutaan besar Inggris dan delegasi Uni Eropa kepada UNP di Kolombia, langkah-langkah perlindungan tersebut untungnya semakin membaik. Namun, kekurangan dan kesenjangan yang mendasar dalam kerangka perlindungan nasional di Kolombia tetap menjadi masalah nasional.

Para pembela hak asasi manusia di seluruh dunia menghadapi serangkaian ancaman yang besar terhadap hak-hak dan keamanan fisik mereka termasuk: serangan kekerasan, ancaman terhadap keluarga, penghilangan paksa, pengawasan secara ilegal, larangan bepergian, pemerasan, penganiayaan seksual, pelecehan hukum dan pembunuhan. Para pembela HAM sering mengalami beberapa ancaman ini sebelum akhirnya terbunuh, namun tanpa akses ke perlindungan yang memadai, seringkali mereka gagal menghentikan eskalasi bahayanya.

Para pemimpin dan perwakilan komunitas Shipibo dari Santa Clara de Uchunya, Peru terus-menerus menghadapi ancaman kematian dan gangguan yang mengerikan karena perlawanan mereka terhadap operasi agribisnis yang dikelola oleh perusahaan kelapa sawit Peru Ocho Sur SAC (sebelumnya dikenal sebagai Plantaciones de Pucallpa) yang telah mengakibatkan perampasan tanah dan pembukaan lebih dari 6.000 hektar hutan masyarakat tanpa persetujuan mereka. Ini semua bukan ancaman kosong; Pada bulan September 2017, enam petani di pemukiman terdekat dibunuh akibat konflik dengan kelompok perdagangan tanah yang memiliki hubungan kuat dengan operasi agribisnis. Robert Guimaraes Vasquez, dari Federasi Masyarakat Adat Ucayali (FECONAU) yang mewakili masyarakat tersebut, menggambarkan ancaman kematian sebagai sesuatu ancaman yang "kuat dan terus membara". Dia telah meminta perlindungan polisi, namun meski permintaan ini diajukan lebih dari tiga bulan yang lalu, belum ada keputusan. Seorang warga masyarakat mendapatkan persetujuan atas permohonan perlindungannya pada bulan Agustus 2017, namun belum ada perlindungan yang diberikan sampai saat ini.

Prinsip-Prinsip Pemandu PBB untuk Urusan Bisnis dan Hak Asasi Manusia sudah menyatakan dengan jelas bahwa adalah tugas negara untuk melindungi para pembela hak asasi manusia, namun skema perlindungan nasional seringkali tidak ada atau hanya di atas kertas. Apabila ada skema-skema perlindungan, skema-skema ini seringkali tidak didukung sumber daya yang cukup, dirancang dengan buruk atau sangat lamban dalam bertindak, membuat para pembela HAM tetap berada di bawah risiko.

Banyak skema sertifikasi sukarela multipihak menyediakan prosedur pengaduan atau 'mekanisme ganti rugi non-peradilan' bagi mereka yang hak-haknya telah dilanggar oleh anggota skema tersebut. Sayangnya, upaya mengajukan pengaduan dapat menyebabkan eskalasi kekerasan dan intimidasi terhadap sang pengadu, baik secara langsung dari perusahaan atau dari penduduk setempat pendukung operasi perusahaan yang merasa dirugikan. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan yang terdepan di antara skema sertifikasi sukarela dalam mengembangkan sebuah protokol untuk memberikan anonimitas dan perlindungan bagi para pembisik, pengadu, pembela hak asasi manusia dan juru bicara masyarakat. Kebijakan semacam itu penting untuk kredibilitas mekanisme-mekanisme ini, karena tanpa komitmen-komitmen ini, para pembela HAM dapat dibungkam suaranya. Protokol RSPO, yang akan diadopsi pada pertengahan tahun 2017, dilaporkan telah berada dalam tahap akhir pemberlakuan. Kegagalan di masa lalu untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas ketidakpatuhan, seperti kasus komunitas Santa Clara de Uchunya di mana Plantaciones de Pucallpa hanya menarik diri dari keanggotaan RSPO ketika menjadi jelas bahwa panel pengaduan akan mendukung masyarakat, berarti bahwa RSPO harus sungguh-sungguh menyadari bahwa protokol baru ini dapat meminta pertanggungjawaban perusahaan.

Kekurangan dalam skema perlindungan dan mekanisme akuntabilitas nasional harus ditangani. Pada saat yang sama, metode untuk perlindungan perlu segera diversifikasi untuk menghentikan eskalasi pembunuhan para pembela hak asasi manusia. Aktor-aktor non-negara - perusahaan dan inisiatif multipihak - harus mulai memikirkan apa yang dapat mereka lakukan untuk menutup celah-celah yang ditinggalkan oleh negara-negara yang tidak mampu atau tidak mau melindungi warganya yang cukup berani untuk berbicara.

Catatan: Beberapa orang yang dirujuk dalam artikel ini identitasnya tetap dirahasiakan atas alasan keamanan

Artikel-artikel lain tentang Melindungi Para Pembela Hutan

Show cookie settings